AKIBAT HUKUM PUTUSAN PIDANA (POLITIK UANG) DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Dipublikasikan Pada
Jurnal Konstitusi Edisi Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Univeristas
Bengkulu
Volume 1 Nomor 1 Agustus 2008
Halaman 30-40
AKIBAT HUKUM
PUTUSAN PIDANA (POLITIK UANG) DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Oleh
Ardilafiza,
SH, M.Hum*
Abstrak
The direct election of head district that
already effective since 2005 and it already has been degradation on the value
of democration because of the money politics. The actor of money politics are
the candidates or the campaign team or it can be done by the voulenteer from
each candidates. Money politics towards politics candidate it only can be done
by the candidate and it only be done by the candidate or campaign team. While
it do it by the the voulenteer, the responsible of the cause by it self. The
constitutions are incomplete, if the evidence is proven after the candidate
been elect as a head district. To give a certainly about a law and the
stability of politics so the condemn court (money politics) the elections that
brings a cause to the head district it must been done by the court that has a
special characteristic n it’s a final dicisions.
Key words: candidates, money politics,
instructions.
A.
Pendahuluan
Reformasi
yang dicanangkan pada tahun 1998 telah membuka semua peluang rakyat untuk
melakukan penataan kembali ketatanegaraan Indonesia. Dan konstitusi sebagai
sesuatu yang salama ini dianggap sakral dan tidak mungkin dilakukan perubahan
telah berakhir. Namun permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
sistem kemasyarakatan yang dinamis membawa implikasi terhadap struktur
ketatanegaraan Indonesia.[1]
Intinya di era reformasi ini Indonesia
mulai menata kembali struktur ketatanegaraannya menuju terciptanya negara
dengan sistem pemerintahan yang baik, demokratis, transparan, berkeadilan dan
berperikemanusiaan.[2]
Dinamika ketatanegaraan Indonesia
yang terjadi kemudian adalah, dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945 dengan
cara melakukan amandemen sebanyak empat kali dalam waktu yang sangat singkat (4
tahun berturut-turut: 1999, 2000, 2001, 2002), suatu peristiwa yang tidak
pernah terjadi di negara manapun.[3]
Amandemen UUD 1945 yang berimpilikasi pada sistem ketatanegaraan yang mengalami
perubahan radikal, meskipun perubahan tersebut belum disertai dengan konsep
menyeluruh tentang sistem dan susunan ketatanegaraan yang ideal.[4]
Pemilihan
kepala daerah secara demokratis[5]
adalah salah satu pilihan bijak untuk meningkatkan citra demokratisasi
ketatanegaraan di Indonesia.
Dengan melakukan analogi pada pemilihan presiden secara langsung maka melalui
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 kata demokrasi pada Pasal 18 Ayat (5) UUD 945
diwjudkan dengan bentuk pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada).
Berangkat dari kesuksesan
pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang lalu, telah mengangkat
citra Indonesia sebagai negara demokrasi yang sejajar dengan negara demokrasi
lainnya di Eropah dan Amerika, maka Pilkada juga diharapkan lebih mengangkat
citra demokrasi di Indonesia. Tapi ternyata kondisi Pilkada berbeda dengan
kondisi Pemilu Nasional yang lalu, dibeberapa daerah sudah muncul berbagai
macam konflik yang mengganggu stablitas daerah seperti di Kabupaten Kaur
Selatan di Propinsi Bengkulu, Kabupaten Tuban, Maluku Utara dan diberbagai
daerah Indonesia
lainnya. Dan yang lebih menyedihkan
muncul salah satu sebab yaitu money politik/politik uang untuk dapat
mempengaruhi pemilih dalam pilkada tersebut.
Pelaksanaan Pilkada
Walikota dan Wakil Walikota Bengkulu yang dilakukan tanggal 11 September 2007
telah menghasilan pemenang yang berdasarkan Rapat Pleno Komisi Pemilihan
Umum Kota Bengkulu tanggal 20 September
2005 hasil Pilkada telah dimenangkan oleh pasangan Ahmad Kanedi dan Edison
Simbolon. Sebagai tindak lanjut dari kemengan tersebut Mendagri telah
menerbitkan Surat Keputusan tentang Pengangkatan Walikota dan Wakil Walikota
pada tanggal 2 Nopember 2007 dan dilaksanakan peantikan pada tanggal 17
Npoember 2007.
Setelah pelantikan
muncul persoalan hukum yaitu dengan
dengan adanya Putusan Pengadilan
Negeri Bengkulu yang bersifat tetap bahwa telah terbukti tim sukses
pasangan terpilih telah melakukan politik uang untuk mendapat suaranya sebagai
dasar lahirnya Surat Keputusan Mendagri tentang Pengangkatan Walikota dan Wakil
Walikota.
Kondisi ini melahirkan
polemik dan berbagai penafisiran hukum tetang keabsahan walikota dan wakil
walikota terpilih, karena dinilai hasil pemilu terdapat cacat hukum. Dan hal
tersebut semakin rumit dengan adanya Fatwa Mahkamah Agung RI Nomor
169/KMA/IX/2008 yang ditujukan pada Ketua Komisi Pemilihan Umum.
Berdasarkan kondisi di
atas adalah sangat menarik untuk mengkaji akibat hukum terhadap politik uang
dalam Pilkada dan fatwa Mahkamah Agung
RI sebagai salah satu solusi
penyelesaian.
B. Politik Uang Pemilihan Umum
Kepala Daerah
Istilah politik uang atau money politics belakangan menjadi akrab dalam
pembicaraan di berbagai kalangan. Sebab, dalam situasi krisis ekonomi seperti
sekarang ini, uang merupakan alat kampanye yang paling ampuh untuk mempengaruhi
masyarakat guna memilih organisasi sosial politik tertentu, tidak peduli apakah
orsospol ini pro reformasi atau pro status quo. Selain itu, politik uang juga
akan menghilangkan kesempatan bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi politik
mereka, sesuai dengan hati nurani, yang sesungguhnya merupakan esensi
demokrasi.
Undang-Undang 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 117 ayat
(2) merumuskan politik uang sebagai berikut; Setiap orang yang dengan
sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang
supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu,
atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat
suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan
dan/atau denda paling sedikit
Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Unsur tindak pidana
politik uang diatas adalah:
1. Dilakukan setiap
orang ;
2. Memberikan atau
menjanjikan;
3. Uang atau materi
lainnya;
4. Pada orang lain;
5. Agar tidak
menggunakan hak pilihnya,
6. memilih calon
tertentu atau
7. menggunakan hak
pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suara jadi tidak sah.
8. Dikenakan sanksi
pidana dan denda.
Akan tetapi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 yang telah diubah dengan PP Nomor 17 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagai pelaksanaan dari UU 32 tahun 2004 pada Pasal 64 mengartikan politik uang yang berbeda dengan undang-undang yang dilaksanakannya, yaitu Pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih.[6]
Perbedaan penting
tersebut terlihat dari
1. subjek yang
melaksanakannya yaitu hanya pasangan calon dan/atau tim kampanye;
2. Tujuan pemberian
uang hanya untuk mempengaruhi pemilih.
3. Sanksi
adminstrasi berupa pembatalan sebagai pasangan calon[7].
Dengan perbedaan unsur di atas memang
menjadi persolan hukum jika upaya mempengaruhi pemilih dengan memberikan uang
atau benda lainnya dilakukan bukan
oleh pasangan calon dan atau tim kampanye dari pasangan calon tersebut,
melainkan dilakukan oleh simpatisan dari pasangan calon yang dikategorikan
sebagai setiap orang. Dan bagi
mereka hanya dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
Pasal 117 (2), yaitu sanksi pidana dan denda dan tidak dapat diberikan sanksi
kepada pasangan calon yang dibantunya.
PP Nomor
6 Tahun 2005 yang telah diubah dengan PP Nomor 17 Tahun 2005 hanya mengatur
perbuatan politik uang yang dilakukan oleh pasangan calon atau tim kampanyenya.
Untuk kesalahan tersebut pasangan calon dapat dikenakan sanksi sesuai dengan
Pasal 64 ayat (2) [8]
yaitu pembatalan sebagai pasangan calon. Tetapi ketentuan ini tidak dapat
menjawab/menyelesaikan jika putusan politik uang tersebut dilakukan setelah
setelah pasangan calon dilantik dan menjalankan fungsi pemerintahan.
C. Fatwa Mahkamah Agung
Keabsahan Pasangan Kepala Daerah
dipertanyakan setelah adanya Putusan Pengadilan Negeri yang bersifat tetap
bahwa dalam Pilkada lalu telah dicederai tindakan money politik oleh tim
kampanye Pasangan Calon yang mendapat suara terbanyak dan telah dilantik
sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Terhadap persolan di atas Mahkamah Agung Republik Indonesia
menjawab permintaan KPU melalui suratnya
Nomor 139/KMA/IX/2008 memberikan Fatwa pada angka 4 yaitu:
Berhubung oleh karena peraturan
perundang-undangan mengenai pelanggaran money politik sesudah ditetapkan
sebagai pemenang PILKADA tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka sebaiknya tata cara pemberhentianya
mengikuti ketentuan Pasal 29 sampai dengan 39 UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan cara analogi, sebab permasalahan yang
dihadapi bukan sebagai status pasangan calon lagi melainkan sudah sebagai
Pasangan Kepala Daerah yang definitif, sebagai berikut:
a. Apabila yang melakukan
pelanggaran money politic tersebut adalah Pasangan Calon Kepala Daerah, tidak
perlu mendapat persetujuan Rapat Paripurna DPRD, cukup dengan melampirkan
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap kepada presiden.
b. Apabila yang melakukan
pelanggaran money politic Tim Kampanye Pasangan Kepala Daerah terpilih dengan
dasar putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap meminta perseujuan
melalui rapat paripurna DPRD.[9]
Terlepas dari kedudukan fatwa Mahkamah Agung hanya sebagai pendapat ahli, namun
masyarakat dan para politisi menempatnya sebagai suatu aturan yang sama kedudukannya
dengan peraturan perundang-undangan, sehingga fatwa ini telah menjadi konsumsi
masysarakat dan para politisi untuk
mendesak DPRD melakukan Pleno untuk memberhentikan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah sesuai dengan mekanisme pemberhentian yang diatur dalam Pasal 29
sampai 39 sebagaimana yang disarankan Mahkamah Agung.
Persolannya tidak sesederhana fatwa tersebut dalam menganalogikan sesuatu
yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan karena:
Pasal 29 UU No. 32 Tahun 2004 tidak ditujukan pada pemberhentian Kepala
daerah karena melakukan tindak pidana melainkan karena:
a.
meninggal dunia;
b.
Permintaan sendiri
c.
Berakhir masa jabatannya
d.
Tidak melaksanakan tugas
selama 6 bulan secara berturut-turut
e.
Melanggar sumpah;
f.
Tidak melaksanakan kewajiban
sebagai kepala daerah.[10]
Mekanisme persetujuan DPRD sebagaimana disarankan
tidak mungkin dapat dilakukan karena Kepala Daerah tidak malakukan pelanggaran
sebagaimana dikualifikasikan pelanggaran dalam Pasal 29 di atas.
Penggunaan Pasal 30 UU Nomor 32 Tahun 2004 juga tidak
menggunakan mekanisme persetujuan DPRD melainkan dapat diberhentikan langsung
oleh Presiden. Namun perlu dikaji
penggunaan Pasal 30 harus memerlukan pembuktian lanjutan tentang keasalahan
kepala daerah apakah putusan PN diancaman hukuman 5 tahun dan/atau apakah
politik uang yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh tim kampanye meruppakan
kesalahan pasangan calon terpilih. Karena dalam Putusan PN tersebut yang
dinayatakan terbukti bersalah adalah anggota tim kampanye bukan kepala daerah
terpilih. Sebab dalam hukum pidana
kesalahan hanya dapat dibebankan pada yang melakukan. Oleh karena itu harus ada
putusan pidana lain yang menyatakan
kesalahan money politik adalah atas perintah dari pasangan calon terpilih.
Tetapi jika anggota tim
kampanye telah keluar dari mekanisme
dan komando yang ditentukan maka sangat sulit kesalahan dibebankan pada
pasangan calon terpilih. Sehingga analogi fatwa MA untuk menggunakan ketentuan
Pasal 29 sampai dengan 39 adalah tidak tepat.
Tetapi
adalah tidak adil jika politik uang yang dilakukan pasangan calon atau tim
kampanye tidak berdampak pada kepala daerah terpilih sedangkan dapat dibuktikan
bahwa pasangan calon/tim kampanye telah melakukan tindak pidana.
Dalam
hukum adminstrasi negara bahwa suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan dapat ditarik kembali sebagai sanksi jika:
a. Yang
bersangkutan tidak mematuhi pembatasan, syarat atau ketentuan
perundang-undangan yang dikaitlan dengan izin, subsidi atau pembayaran;
b. Yang berkepentingan
pada waktu mengajukan untuk mendapatkan KTUN telah memberikan data yang
sedemikian tidak benar...[11].
Pendapat
di atas dapat digunakan sebagai alasan menuntut penarikan Keputusan Mendagri
tentang Pengangkatan Kepala Daerah karena dasar/informasi yang dijadikan
sebagai dasar pengambilan keputusan tidak benar atau cacat hukum. Dan dapat
dipastikan jika Putusan PN pasangan calon yang melakukan pelanggaran masih
berkedudukan sebagai pasangan calon maka pencalonnya dapat dibatalkan.
Hanya
saja kondisi ini pada dasarnya tidak tepat jika dilihat dari sistem
presidensial yang menginginkan adanya stabilitas pemerintahan selama masa
jabatannya.
1.
Jika dilakukan oleh
Simpatisan
Money
politik yang dilakukan simpatisan atau relawan suatu pasangan calon tidak
mempunyai akibat pada pasangan calon, karena dengan kapasitasnya sebagai
relawan dan bukan tim kampanye resmi pasangan calon, semua akibat hukum yang
muncul dibebankan pada pelaku, walaupun tujuannya adalah untuk mengalihkan
pemilih agar memilih pasangan yang diinginkannya. Direktur LSI
Saiful Mujani mengatakan, bila ada calon yang akan memberi uang, mereka akan
menerimanya meskipun belum tentu mereka akan memilih orang yang memberi
uang tersebut.[12]
Artinya usaha relawan belum tentu akan mempengaruhi tindakan pemilih
sesuai keinginnya melainkan hanya untuk mendapatkan uang.
D. Pengadilan Khusus Pidana
Pilkada
Salah
satu karakteristik dari Pengadilan Tata Negara adalah sifat final dan mengikat.
Artinya tidak dapat dilakukan lagi upaya hukum apa saja termasuk upaya hukum
luar biasa. Hal ini disebabkan
Pengadilan Tata Negara mengadili sengeta
yang lahir karena keputusan politik[13]
yang mempunyai akibat hukum pada publik/negara, dan bukan pada perseorangan
sebagaimana Pengadilan lain yang berada dibawah Mahkamah Agung[14]
(Kecuali Menguji Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang).
Dibandingkan dengan Putusan Pengadilan tentang politik
uang tidak murni peradilan pidana yang diatur dalam KUHP melainkan pidana yang
terkait dengan keputusan politik yaitu pemilihan umum. Dan akibat dari putusan pengadilan tidak
murni hanya pada si pelaku melainkan juga dapat menjadi satu alasan
pemberhentian pejabat publik yaitu pasangan kepala daerah terpilih.
Dengan karakter
campuran demikian dampak publik terhadap putusan tersebut sangat besar,
sehingga menimbulkan ketidakpastian pemerintahan, dan sangat menganggu jalannya
pemerintahan. Oleh karena itu karakteristik pidana pemilu seharusnya tidak
tunduk pada hukum acara pidana sesuai UU Nomor 8 Tahun 1981, melainkan melalui
mekanisme khusus yang harus dapat menjamin terselenggaranya kepastian hukum
bagi masyarakat dan pemerintahan dengan baik.
Untuk itu peradilan pidana pemilu harus:
1.
bersifat
final dan mengikat, artinya tidak dimungkinkan adanya upaya hukum lain
termasuk upaya hukum luar biasa.
2.
Telah diputus sebelum
diumumkannya pemenang Pilkada.
3.
Penyelesaian sengketa pidana
pilkada menggunakan hakim AD HOC.
E. Kesimpulan
1.
Tidak adanya pengaturan
dalam UU Nomor 32 tahun 2004 yang
mengakibatkan dapat diberhentikannya pasangan kepala daerah yang
melakukan politik uang dalam pilkada.
2.
Putusan peradilan pidana
pemilu mempunyai karakteristik campuran dengan karakteristik putusan pengadilan
Hukum Tata Negara yaitu objek sengketa putusan dan akibatnya kepada publik.
Saran
Untuk
dapat memberikan kepastian hukum pada pasangan calon terpilih dan pemerintahan,
diharapkan melahirkan peradilan pidana pemilu yang mempunyai karakteristik
pengadilan HTN yaitu bersifat
final, dan mengikat dan dapat
diselesaikan sebelum diumumkannya pemenang Pilkada.
Kepustakaan
A.
Mukthie Fadjar, “Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik”, Malang: In-Trans, 2003,
Indroharto,
Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, 1993
Jimly
Assidiqie, Konstutsi dan Konstitusionalisme Indonesia,
Sekjend dan Kepaniteraan KM
RI .2006
------------------(4),
“Pemilihan Langsung Presiden dan Wakil
Presiden”, dalam Jurnal
Ilmu-Ilmu Sosial UNISIA No. 51/XXVII/I/2004, Hlm. 9
Philipus
M Hadjon, Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia, Gadjah Mada Press
Zaki
Antoni, Akibat Hukum Putusan Money Politik Pilkada Terhadap Keabsahan
Walikotadan wakil Walikota BengkuluTerpilih, Skripsi, Fak. Hukum Universtas
Bengkulu,2008
Pemilih Jateng Toleran Politik Uang http://209.85.175.104/search?q=cache:mH3gLSuqOJIJ:www.antara.co.id/arc/2008/3/25/pemilih-jateng-toleran-atas-politik
* Adalah dosen
Fakultas Hukum Universitas Bengkulu
[1] Jimly
Asshiddiqie, (6), “Lembaga Negara dan Sengketa
Kewenangan Antar Lembaga Negara”, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2005, Hlm.
51
[2] A. Mukthie
Fadjar, “Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik”, Malang: In-Trans, 2003,
Hlm. 21
[3] Jimly
Asshiddiqie, (4), “Pemilihan Langsung
Presiden dan Wakil Presiden”, dalam Jurnal
Ilmu-Ilmu Sosial UNISIA No. 51/XXVII/I/2004, Hlm. 9
[4] Jimly
Asshiddiqie, (6), Loc.Cit
[5] Lihat Pasal
18 Ayat 5 UUD 1945
[6] Lihat PP
Nomor 6 Tahun 2005 Pasal 64 Ayat (1)
[7] Lihat PP
Nomor 17 tahun 2005 Pasal 65 ayat (2)
[8] Pasal 64 (2)
berbunyi Pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan
pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai
pasangan calon
[9] Zaki Antoni,
Akibat Hukum Putusan Money Politik Pilkada Terhadap Keabsahan Walikotadan wakil
Walikota BengkuluTerpilih, Skripsi, Fak. Hukum Universtas Bengkulu,2008
Lampiran
[10] Lihat Pasal 29 UU Nomr 32 Tahun 2004
[11] Philipus M
Hadjon, Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia, Gadjah Mada Press, hlm
254. Lihat Juga Indroharto, Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan,
1993 hlm 242-243
[12]Pemilih Jateng Toleran Politik Uang http://209.85.175.104/search?q=cache:mH3gLSuqOJIJ:www.antara.co.id/arc/2008/3/25/pemilih-jateng-toleran-atas-politik, Didownlod tanggal 8 Nopember 2008
[13]
Misalnya:Lahir karena hasil dari pemilihan umum, keputusan DPR/D dll.
[14] Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Komentar
Posting Komentar