KEDUDUKAN KONVENSI KETATANEGARAAN PASCA TERBENTUKNYA MAHKAMAH KONSTITUSI
Dipublikasikan Pada
Jurnal Konstitusi Edisi Pusat Kajian
Konstitusi Fakultas Hukum
Univeristas Bengkulu
Volume III Nomor 1 Juni 2010
Halaman 85-119
KEDUDUKAN KONVENSI KETATANEGARAAN PASCA TERBENTUKNYA MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
Oleh
ABSTRACT
State Convention as an unwritten constitution has an
important role in performing government, either costume based convention or
agreement based convention. State convention is a part of constitutional law
norm which function is to complete, to perfect or even to change and to state
as invalid a substance of a written constitution (UUD 1945) as the highest law
norm in United State of Republic of Indonesia. After constitution amendment,
the presence of convention is inevitable, but in reality the position of a
convention is merely a political patron which binding power is more tend to
political sanction, for in fact it isn’t made as “totsingrecht” in Constitution
Court.
Konvensi Ketatanegraan
sebagai Konstitusi yang tidak tertulis mempunyai peranan yang sangat penting
dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik konvensi yang lahir karena Kebiasaaan
Ketatanegaraan (costum) maupun konvensi yang lahir karena kesepakatan (agreement).
Konvensi Ketatanegaraan merupakan bagian dari norma Hukum Konstitusi tidak
tertulis yang berfungsi melengkapi, menyempurnakan atau bahkan mengubah dan
menyatakan tidak berlaku substansi Konstitusi tertulis (UUD 1945) sebagai norma
huku tertinggi dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Setelah perubahan
konstitusi, kehadiran konvensi tidak dapat dihndarkan, namun dalam
kenyataannya kedudukan konvensi hanyalah sebagai patron politik yang kekuatan
mengikatnya juga lebih disebabkan sanksi politi, karena ternyata konvensi tidak
dijadikan sebagai totsingrecht di Mahkamah Konstitusi.
A.
Latar Belakang
Sejak reformasi hingga saat
ini Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya
disebut UUD 1945 telah empat kali mengalami Amandemen, melalui sidang-sidang
MPR, tepatnya pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Pada masa Orde Baru UUD
1945 ini dianggap sangat sempurna sehingga diharamkan untuk melakukan
perubahan. “Tujuan perubahan UUD 1945 adalah menyempurnakan aturan dasar
seperti tatanan Negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi
negara, demokrasi dan Negara Hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan
perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa”.[3] Perubahan telah melahirkan
beberapa lembaga negara baru yang salah satunya adalah Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia yang terbentuk berdasarkan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24 C
UUD 1945 setelah amandemen yang diatur lebih lanjut oleh Undang-undang nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Jimly Asshiddiqie, berpendapat
“bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin agar Konstitusi sebagai
hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya”.[4] Sebagai lembaga negara
yang mempunyai tugas untuk menjaga Konstitusi tentunya bukanlah hal yang mudah
sehingga diperlukan kewenagan Konstitusional yang jelas. Salah satu kewenangan
Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 C UUD 1945 adalah
menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang putusannya bersifat
final dan mengikat.
Apabila kita perhatikan bunyi
Pasal 24 C UUD 1945, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya terbatas untuk
menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, yang dalam artian hanya
Konstitusi yang bersifat tertulis. Padahal, dalam teori Konstitusi tidak hanya
tertulis tetapi juga ada yang dalam bentuk tidak tertulis yang lebih dikenal
dengan Konvensi Ketatanegaraan yang “kekuatan mengikatnya sama dengan
Konstitusi tertulis”.[5]
Penjelasan Umum UUD 1945
(catatan : setelah adanya amandemen UUD 1945, terakhir yaitu amandemen ke-empat
pada tahun 2002 maka bagian penjelasan sudah ditiadakan sehingga UUD 1945 hanya
terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh) secara tegas menyatakan bahwa
:"Undang-undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar
Negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedangkan di
samping undang-undang itu berlaku juga hukum dasar yang tak tertulis, ialah
aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara,
meskipun tidak tertulis…"[6]
Penjelasan di atas menunjukan keadaan
sebelum perubahan UUD 1945 dimana penjelasan merupakan bagian dari UUD 1945
yang mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sebelum perubahan UUD 1945 tersebut
maka dalam menjalankan Ketatanegaraan Republik Indonesia tidak hanya berpedoman
pada UUD 1945 yang merupakan Konstitusi tertulis tetapi juga harus
memperhatikan Konstitusi yang tidak tertulis (Konvensi Ketatanegaraan). “Perlu
diketahui bahwa hampir semua negara-negara modern di dunia di samping mempunyai
Konstitusi (UUD yang tertulis) dalam praktik penyelenggaraan negara mengakui
adanya apa yang disebut konvensi. Konvensi selalu ada pada setiap sistem
ketatanegaraan, terutama pada negara-negara demokrasi”.[7]
Beberapa aspek yang terdapat dalam UUD 1945
yang menyebabkan Konstitusi Indonesia ini tidak cukup mampu mendukung
penyelenggaraan negara yang demokratis dan menegakkan hak asasi manusia, antara
lain sebagai berikut.[8]
1. UUD
1945 terlampau sedikit jumlah pasal dan ayatnya, hanya terdiri dari 37 pasal
sehingga belum/tidak mengatur berbagai hal mengenai penyelenggaraan negara dan
kehidupan bangsa di dalamnya yang makin lama makin kompleks.
2. UUD 1945 menganut
paham Supremasi MPR yang menyebabkan tidak ada sistem checks and balances
antarcabang kekuasaan negara.
3. UUD
1945 memberikan kekuasaan sangat besar kepada Presiden (executive heavy)
sehingga peranan Presiden sangat besar dalam penyelenggaraan negara.
4. Beberapa
muatan dalam UUD 1945 mengandung potensi multitafsir yang membuka peluang
penafsiran yang menguntungkan pihak penguasa.
5. UUD
1945 sangat mempercayakan pelaksanaan UUD 1945 kepada semangat penyelenggara
negara.
Indonesia merupakan negara yang
demokrasi, tentunya aturan-aturan ketatanegaraan sangat kompleks. Dengan demikian
untuk dapat menjalankan roda pemerintahan secara baik, akan sulit untuk dicapai
jika hanya berdasarkan UUD 1945 yang sangat terbatas karena hanya memuat 37
pasal sebagai norma dasar ketatanegraan. Maka untuk itu diperlukan pedoman lain
berupa berupa kebiasaan ketatanegaraan, yang telah dilakukan sebagai pendamping
norma hukum dasar yang tertulis. Norma hukum kebiasaan ketatanegraan ini lahir
dan berkembang berdasarkan paham, ideologi, dan sistem yang dianut oleh suatu
negara, sehingga berbeda dengan negara lain. Oleh karena itulah, Konvensi
Ketatanegaraan ini mempunyai peran yang sangat penting dalam keberlangsungan
kehidupan suatu negara.
Sebagai salah satu contoh Konvensi Ketatanegaraan
Indonesia, Presiden selalu menyampaikan Pidato Kenegaraan di hadapan rapat paripurna
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada setiap tanggal 16 Agustus. Sejak
terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD) timbul perdebatan apakah
pidato yang disampaikan oleh Presiden di Depan DPD merupakan pidato kenegaraan
atau hanya pidato menyampaikan Keterangan Pemerintah tentang Kebijakan
Pembangunan Daerah. Dengan demikian tentunya harus kita telaah berdasarkan
teori terbentuknya Konvensi Ketatanegaraan agar tidak menimbulkan perdebatan
yang berkepanjangan.
Selain hal di atas, perdebatan mengenai Maklumat
Wakil Presiden nomor X pada bulan Oktober 1945 hingga saat ini masih terus
terjadi. Banyak para ahli yang pro dan kontra terhadap substnasi yang diatur
dalam maklumat tersebut. Sebagian ahli menyatakan maklumat tersebut sebagai pelanggaran
terhadap Konstitusi (UUD 1945) dan sebgaian lagi telah menggangap maklumat
tersebut sebagai kesepakatan yang dapat diterima sebagai Konvensi
Ketatanegaraan. Tentunya hal yang demikian ini dapat kita jawab dengan
berpatokan pada teori-teori yang berkaitan dengan Konvensi Ketatanegaraan.
Terlepas dari hal di atas, UUD 1945 pada Pasal 1 Ayat (3) menyebutkan dengan jelas
bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini berarti bahwa negara Indonesia berdasarkan hukum
(rechtsstaat), dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat).
Konsekuensi sebagai negara hukum adalah segala tingkah-laku atau perbuatan dari
penguasa atau pemerintah dan warga negara harus tunduk pada hukum yang berlaku.
Begitu juga dengan Mahkamah Konstitusi dalam melaksankan kewenangannya harus
berdasarkan hukum bukan bebas tanpa dasar.
Definisi hukum secara umum adalah
“keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu
kehidupan bersama: keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku
dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan
suatu sanksi”.[9] Dengan definisi ini maka
dapat kita terjemahkan bahwa hukum itu tidak selalu dalam bentuk tertulis.
Dengan aktivitas kehidupan manusia yang sangat kompleks tentunya hukum tidak tertulis
ini mempunyai arti dan peran tersendiri dalam kehidupan masyarakat.
Bertitik tolak dari hal di atas
Konvensi Ketatanegraan sebagai Konstitusi yang tidak tertulis tentunya
mempunyai peranan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik
konvensi yang bersifat Kebiasaaan Ketatanegaraan (costum) maupun konvensi yang bersifat kesepakatan (agreement). Pucuk pemerintahan di
Republik Indonesia ini telah beberapa kali mengalami pergantian dan konvensi
ketatanegraan tetap dilaksanakan dan ditaati. Akan tetapi hal ini mulai berbeda
pasca amandemen UUD 1945 (terbentuknya Mahkamah Konstitusi), yang seakan-akan
Konstitusi hanyalah UUD 1945
(konstitusi tertulis) .
Berdasarkan uraian latar belakang di
atas, maka timbul pertanyaan mendasar
dalam konteks ketatanegaraan antara lain:
1.
Bagaimanakah kedudukan konvensi ketatanegaran sebagai Konstitusi yang tidak
tertulis dalam sistim hukum ketetanegraan Republik Indonesia?
2. Bagaimanakah ketaatan
penyelenggara negara terhadap Konvensi Ketatanegraan pasca terbentuknya
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia?
B.
Kerangka Teori
1. Konstitusi dalam Teori Hukum
Tata Negara
a. Pengertian Konstitusi
Istilah Konstitusi berasal
dari kata Constituer dalam bahasa
Perancis yang berarti membentuk. Membentuk yang dimaksud adalah pembentukan
suatu negara atau menyusun dan menyatakan terbentuknya suatu negara. Seorang
Filosuf Yunani Kuno yang bernama Aristoteles menulis istilah Konstitusi dengan Politica dan Nomoi (Undang-Undang).[10] Hal ini menandakan bahwa
teori Konstitusi telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu.
Konstitusi mengandung
norma-norma hukum yang mendasar dalam suatu negara terutama dalam pelaksaanan
kekuasaan negara (Pemerintah). Hal ini dapat kita lihat dari pengertian
Konstitusi yang dikemukakan oleh KC Wheare bahwa “Konstitusi merupakan
keseluruhan sistim ketatanegaraan dari suatu Negara berupa kumpulan
peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah dalam pemerintahan
suatu negara. Peraturan disini merupakan gabungan antara ketentuan-ketentuan
yang dimiliki sifat hukum (legal) dan yang tidak memiliki sifat hukum (non
Legal)”.[11]
Berdasarkan pengertian
tersebut, Konstitusi merupakan bentuk pengaturan tentang berbagai aspek yang
mendasar dalam sebuah negara, baik aspek hukum maupun aspek lainnya yang
merupakan kesepakatan masyarakat untuk diatur. Sedangkan Moh. Kusnardi dan
Bintan R. Saragih mengatakan bahwa : “Konstitusi berarti hukum dasar baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis. Hukum dasar yang tertulis biasanya disebut
sebagai Undang-Undang Dasar, sedangkan hukum dasar yang tidak tertulis disebut
Konvensi, yaitu kebiasaan ketatanegaraan atau aturan-aturan yang dasar yang
timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara”.[12]
Kemudian menurut L.J. Van Apeldoorn, “bahwa
terdapat perbedaan pengertian Undang-Undang Dasar (grondwet) dan Konstitusi (Constitutie).
Undang-Undang Dasar adalah bagian tertulis dari suatu Konstitusi, sedangkan
Konstitusi memuat baik peraturan tertulis mapun peraturan tidak tertulis.[13]
Leon Deguit mengatakan bahwa konstitusi bukanlah
sekedar Undang-Undang Dasar yang memuat sejumlah/kumpulan norma-norma
semata-mata, tetapi struktur negara yang nyata-nyata terdapat dalam keadaan
masyarakat. Dengan kata lain, konstitusi adalah faktor-faktor kekuatan yang
nyata (de riele machtsfactoren).[14]
Selain beberapa pendapat para ahli hukum di atas,
masih banyak lagi definisi Konstitusi yang dikemukakan oleh para ahli hukum.
Akan tetapi apabila kita merujuk pada kesemua definisi Konstitusi di atas, maka
Konstitusi berbeda dengan Undang-Undang Dasar, dimana Undang-Undang Dasar hanya
bagian dari Konstitusi.
Adanya perbedaan yang mendasar antara Konstitusi
dengan Undang-Undang Dasar dimuat secara tegas dalam Penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945 sebelum diamandemen. Dalam penjelasan tertulis bahwa “Undang-Undang
Dasar ialah hanya sebagai dari hukum dasar negara itu. Undang-Undang Dasar
ialah hukum dasar tertulis, sedangkan di samping Undang-Undang Dasar itu
berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang
timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak
tertulis.”[15]
b.
Kedudukan, Fungsi dan Tujuan Konstitusi
Konstitusi dari aspek politik merupakan elemen
pembentuk lahirnya suatu negara, dengan demikian konstitusi menjadikan suatu
negara sebagai negara yang merdeka dan
berdaulat. Konstitusi memuat ketentuan-ketentuan dasar dan merupakan rangka
dari tata hukum suatu negara. Sebagai norma dasar konstitusi merupakan Fungsi
penentu dan pembatas kekuasaan negara
1.
Fungsi
pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara
2.
Fungsi
pengatur hubungan kekuasaan antara organ negara dengan warga negara
3.
Fungsi pemberi
atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara
4.
Fungsi
penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli (yang dalam
sistim demokrasi adalah rakyat) kepada organ negara
5.
Fungsi
Simbolik sebagai pemersatu (symbolic of
unity)
6.
Fungsi
simbolik sebagai rujukan identitas keagungan kebangsaan (identity of natioan)
7.
Fungsi
simbolik sebagai pusat upacara (center of
ceremony)
8.
Fungsi
sebagai pusat sarana pengendalian masyarakat (social control), baik dalam arti sempit hanya dibidang politik maupun
dalam arti luas mencakup sosial dan ekonomi
9.
Fungsi
sebagai sarana perekayasaan dan pembaruan masyarakat (social egenering atau social), baik dalam arti sempit maupun dalam
arti luas.[16]
Konstitusi pada hakekatnya merupakan
kontrak sosial antara masyarakat dengan negara, dengan demikian konstitusi
merupakan perjanjian luhur dan kedudukannya sebagai sumber hukum tertinggi
dalam suatu negara, merupakan pandangan hidup yang berfungsi sebagai pendorong
cita-cita bangsa.
Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa konstitusi dapat
difungsikan sebagai sarana kontrol politik, sosial dan atau ekonomi di masa
sekarang, dan sebagai sarana perekayasaan sosial dan ekonomi menuju masa depan.
Dengan demikian, fungsi-fungsi konstitusi dapat dirinci sebagai berikut :
Oleh
karena itu, kedudukan dan sifat konstitusi dalam suatu negara adalah kuat dan
tidak dapat dikalahkan oleh peraturan hukum lainnya. Sebagai norma hukum
tertinggi dalam suatu negara, konstitusi bersifat simple karena hanya memuat
hal-hal yang pokok dan sangat penting juga berfungsi sebagai pengendali
peraturan hukum di bawahnya.
Menurut Mirza
Nasution, tujuan Konstitusi adalah juga tata tertib terkait dengan :
a.
Berbagai
lembaga-lembaga negara dengan wewenang dan cara bekerjanya.
b.
Hubungan antar
lembaga begara
c.
Hubungan
lembaga negara dengan warga negara (rakyat)
d.
Adanya jaminan
hak-hak asasi manusia
e.
Hal-hal yang
sifatnya mendasar sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.[17]
Bertitik tolak dari hal-hal di atas Konstitusi memiliki
kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi posisi politik dan
hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuan dalam
bentuk Negara. Dengan demikian konstitusi mempunyai kedudukan dan fungsi yang
sangat kuat. Konstitusi merupakan roh peraturan perundangan lainnya sehingga
produk peraturan perundangan lainnya tersebut harus tidak bertentangan dengan
konstitusi dan apabila bertentangan dengan konstitusi harus dibatalkan (Lex Superior derogate legi inferior)
melalui proses uji materil (judicial
review) ke Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain, seluruh peraturan yang
berkedudukan di bawah Konstitusi harus dijiwai oleh substansi dan materi muatan
Konstitusi tersebut.
Menurut CF Strong pada prinsipnya tujuan Konstitusi adalah
untuk membatasi kesewenangan tindakan pemerintah, untuk menjamin kesewenangan
tindakan pemerintah, untuk menjamin hak-hak yang diperintah dan merumuskan
pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Oleh karena itu setiap konstitusi senantiasa
memiliki dua tujuan, yaitu :
1.
Untuk
memberikan pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik
2.
Untuk
membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak para penguasa serta menetapkan
batas-batas kekuasaan bagi penguasa.[18]
2. Konvensi Ketatanegaraan
Istilah konvensi berasal dari bahasa Inggris convention. Secara akademis seringkali istilah convention digabungkan dengan perkataan constitution atau contitusional
seperti convention of the constitution.[19]
Pengertian atau definisi Konvensi Ketatanegaraan pertama kali dikemukan oleh
Dicey, yang mengemukakan Konvensi Ketatanegaraan adalah konvensi-konvensi (Conventions of the Constitution) yang
berlaku dan dihormati dalam kehidupan ketatanegaraan, walaupun tak dapat
dipaksakan oleh pengadilan apabila terjadi pelanggaran terhadapnya.
Konvensi atau (hukum) kebiasaan ketaatnegaraan adalah
(hukum) yang tumbuh dalam praktek penyelenggaraan negara, untuk melengkapi,
menyempurnakan, menghidupkan (mendinamisasi) kaidah-kaidah hukum
perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan.[20] `
Bagir Manan
merinci Konvensi Ketatanegraan yang dikemukakan oleh Dicey sebagai berikut :[21]
a.
Konvensi
adalah bagian dari kaidah ketatanegaraan (konstitusi) yang tumbuh, diikuti dan
ditaati dalam praktek penyelenggaraan negara.
b.
Konvensi sebagai
bagian dari konstiusi yang tidak dapat dipaksakan oleh (melalui) pengadilan.
c.
Konvensi
ditaati semata-mata didorong oleh tutunan etika, akhlak atau politik dalam
penyelengaraan negara.
d.
Konvensi
adalah ketentuan-ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaiknya) discretionory powers dilaksanakan.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat
diketahui bahwa konvensi itu berkembang karena kebutuhan dalam praktek
penyelenggaraan Negara. Konvensi atau hukum Kebiasaan Ketatanegaraan merupakan
salah satu sumber Hukum Tata Negara dalam arti formal. Konvensi merupakan
faktor dinamika sistem ketatanegaraan suatu negara, terutama pada negara-negara
demokrasi. Bukan saja berfungsi melengkapi kaidah-kaidah hukum ketatanegaraan
yang ada, melainkan untuk menjadikan kaidah-kaidah hukum terutama Undang-Undang
Dasar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan zaman.
b.
Hakekat dan Proses Terbentuknya Konvensi Ketatanegaraan
Undang-Undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari
hukum dasar negara itu, Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar yang tertulis,
sedangkan di samping Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang
tidak tertulis, ialah aturan – aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam
praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis. “Diakuinya konvensi
sebagai salah satu atau sumber hukum tata negara Republik Indonesia,
menimbulkan kebutuhan untuk mengetahui hakekat dan seluk-beluknya”.[22]
Konvensi Ketatanegaraan jika
dipahami dalam realita konstitusional, maka kehadiran konvensi kelengkapan yang
merupakan suatu keharusan bagi UUD 1945 dalam rangka memenuhi tuntutan
kebutuhan dan perkembangan zaman dalam bidang ketatatnegaraan. Di Indonesia, konvensi tumbuh
menurut atau sesuai dengan kebutuhan negara Indonesia. Oleh karena itu perlu
dipahami bahwa konvensi tidak dapat diimpor dari sistem ketatanegaraan negara
lain yang mungkin berbeda asas dan karakternya dengan sistem ketatanegaraan
Indonesia walaupun sama-sama sistem Presidensil. Sistem parlementer yang telah
berurat berakar dalam sistem ketatanegaraan di negara-negara barat atau sistem
kerajaan di Inggris dan beberapa negara lain sudah barang tentu tak sesuai
dengan sistem ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945 yang dalam pemahaman P4 yang lalu harus memenuhi syarat :
a. Tidak
bertentangan dengan isi, arti dan maksud UUD1945.
b. Sifatnya melengkapi, mengisi kekosongan ketentuan yang tidak diatur
secara jelas dalam UUD dan menetapkan pelaksanaan UUD.
c. Terjadi
berulang – ulang dan dapat diterima oleh masyarakat.
d. Konvensi
hanya terjadi di tingkat nasional saja.[23]
Dari pikiran-pikiran yang dipaparkan
di atas dapat diketahui bagaimana peranan konvensi dalam praktik
penyelenggaraan negara. Kehadiran konvensi bukan untuk mengubah UUD 1945. Oleh
karena itu, konvensi tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945, konvensi
berperan sebagai partnership memperkokoh kehidupan ketatanegaraan Indonesia di
bawah sistem UUD 1945. Dengan demikian pada Hakekatnya Konvensi Ketatanegaraan
adalah kaidah hukum di bidang ketatanegaraan dan salah sumber penting hukum
Tata Negara.
Wheare sebagaimana yang dikutif oleh
Bagir Manan menyatakan bahwa, Konvensi terbentuk dengan dua
cara, yaitu :
Pertama, suatu praktek
tertentu berjalan untuk jangka waktu yang mula-mula bersifat persuasif,
kemudian diterima sebgai suatu hal yang wajib (kewajiban). Konvensi yang
terjadi dengan cara ini tergolong sebagai kebiasaan (custom).
Kedua, Konvensi terjadi
melalui kesepakatan (agreement) di
antara rakyat. Mereka sepakat melaksanakan sesuatu dengan cara-cara tertentu,
dan sekaligus menetapkan ketentuan mengenai cara-cara pelaksanaannya. Ketentuan
semacam ini langsung mengikat. Langsung menjadi konvensi, tanpa dikaitkan
dengan waktu tertentu seperti konvensi yang tumbuh melalui kebiasaan. Karena
konvensi dapat terjadi melalui kesepakatan, maka dimungkinkan ada konvensi dalam bentuk tertulis.
Kesepakatan semacam ini dapat dibuat antara pimpinan-pimpinan partai. Atau
dalam bentuk memorandum sebagai hasil diskusi antara para menteri.[24]
C.
PEMBAHASAN
1. Kedudukan
Konvensi Ketatanegaran Sebagai Konstitusi Yang Tidak Tertulis Dalam Sistim
Hukum Ketetanegaraan Republik Indonesia
- Kedudukan Konvensi Ketatanegaraan dalam sistim hukum Indonesia
Setelah
diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia merupakan negara yang merdeka. Sehari setelah kemerdekaan
tersebut, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945 disahkan pula Undang-Undang
Dasar 1945 Sebagai Konstitusi tertulis Negara Republik Indonesia. Berlakunya
UUD 1945 sebagai Konstitusi di Indonesia terbagai menjadi dua tahap yaitu tahap
pertama 18 Agustus 1945 sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, kemudian tahap kedua sejak Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959
sampai sekarang. Sejak
ditetapkannya UUD 1945 sebagai norma hukum dasar tertinggi, hingga saat ini
tentunya telah banyak pula Konvensi
Ketatanegaraan yang dilakukan dalam praktek penyelenggaran Indonesia baik
Konvensi Ketatanegaraan yang bersifat kebiasaan ketatanegaraan (costum) maupun
Konvensi Ketatanegaraan yang bersifat kesepakatan (agrement).
Dari penyelusuran terhadap, pada
periode Orde Baru, sejak tahun 1966 terdapat beberapa praktik ketatanegaraan
yang dapat dipandang sebagai konvensi yang sifatnya melengkapi dan tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Contoh konvensi-konvensi yang pernah timbul dan
konvensi yang tetap terpelihara dalam praktik penyelenggaraan Negara Indonesia:
1. Praktik di Lembaga Tertinggi
Negara bernama Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR), mengenai pengambilan keputusan
berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Padahal dalam Pasal 2 ayat (3) UUD 1945
menyebutkan bahwa ‘‘segala putusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak’’. Pasal ini
tidak menyebutkan bentuk pelaksanaan untuk mendapatkan suara terbanyak
tersebut, melalui Musyawarah atau Voting.
2. Seperti telah diuraikan di
atas yaitu pidato Presiden setiap tanggal 16 Agustus di depan Sidang Paripurna
DPR yang di satu pihak memberi laporan pelaksanaan tugas pemerintah dalam tahun
anggaran yang lewat, dan di lain pihak mengandung arah kebijaksanaan tahun
mendatang. Secara konstitusional tidak ada ketentuan yang mewajibkan presiden
menyampaikan pidato resmi tahunan semacam itu di hadapan Sidang Paripurna DPR.
Karena presiden tidak tergantung DPR dan tidak bertanggung jawab pada DPR,
melainkan presiden bertanggung jawab kepada MPR. Kebiasaan ini tumbuh sejak
Orde Baru yang hingga sekarang masih tetap dilakukan.
3. Jauh hari sebelum MPR
bersidang presiden telah menyiapkan rancangan bahan-bahan untuk Sidang Umum MPR
yang akan datang itu. Dalam UUD 1945 hal ini tidak diatur, bahkan menurut Pasal
3 UUD 1945 sebelum amandemen MPR-lah yang harus merumuskan dan akhirnya
menetapkan Garis Besar Haluan Negara(GBHN). Namun untuk memudahkan MPR,
presiden menghimpun rancangan GBHN yang merupakan sumbangan pikiran Presiden
sebagai Mandataris MPR yang disampaikan dalam upacara pelantikan
anggota-anggota MPR. Hal tersebut merupakan praktik ketatanegaraan yang timbul
dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis,
yang sudah berulang kali dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru.
4. Pada setiap minggu pertama
bulan Januari, Presiden Republik Indonesia selalu menyampaikan penjelasan
terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
di hadapan DPR, perbuatan presiden tersebut termasuk dalam konvensi. Hal ini
pun tidak diatur dalam UUD 1945, dalam pasal 23 ayat 1 UUD 1945 hanya
disebutkan bahwa "Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan tiap-tiap
tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui
anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun
lalu". Penjelasan oleh Presiden mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang APBN di depan DPR yang sekaligus juga diketahui rakyat sangat penting,
karena keuangan negara itu menyangkut salah satu hak dan kewajiban rakyat yang
sangat pokok. Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dan dari mana
didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri, dengan
perantaraan Dewan Perwakilan Rakyat, demikian penjelasan UUD 1945.
5. Adanya Menteri Negara
Nondepartemen dalam praktik ketatanegaraan di bawah Pemerintahan Orde Baru.
Pasal 17 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa : "menteri-menteri itu memimpin
Departemen Pemerintahan". Jika ditinjau dari ketentuan Pasal 17 ayat 3 UUD
1945, maka menteri-menteri itu harus memimpin Departemen. Namun demikian dalam
praktik ketatanegaraan di masa Orde Baru dengan kabinet yang dikenal Kabinet
Pembangunan, komposisi menteri dalam tiap-tiap periode Kabinet Pembangunan di
samping ada Menteri yang memimpin Departemen, terdapat juga Menteri Negara
Nondepartemen. Adanya Menteri Nondepartemen berkaitan dengan kebutuhan pada era
pembangunan dewasa ini. Karena adanya Menteri Negara Nondepartemen sudah
berulang-ulang dalam praktik penyelenggaraan negara, maka dapatlah dipandang
sebagai konvensi dalam ketatanegaraan kita dewasa ini. Tidaklah dapat diartikan
bahwa adanya Menteri Negara Nondepartemen mengubah UUD 1945. Karena barulah terjadi
perubahan terhadap UUD 1945 apabila prinsip-prinsip konstitusional yang dianut
telah bergeser, misalnya menteri-menteri kedudukannya tidak lagi tergantung
presiden dan bertanggung jawab pada presiden. Dalam hal ini misalnya
menteri-menteri tersebut bertanggung jawab kepada DPR dan kedudukannya
tergantung DPR.
6. Pada masa Orde Baru,
pengesahan Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui oleh DPR. Secara
konstitusional presiden sebenarnya mempunyai hak untuk menolak mengesahkan
Rancangan Undang-undang yang telah disetujui DPR, sebagaimana diisyaratkan oleh
pasal 21 ayat 2 UUD 1945. Tetapi dalam praktik presiden belum pernah
menggunakan wewenang konstitusional tersebut, presiden selalu mengesahkan
Rancangan Undang-undang yang telah disetujui oleh DPR, meskipun Rancangan
Undang-undang itu telah mengalami berbagai pembahasan dan amandemen di DPR.
Rancangan Undang-undang kebanyakan berasal dari Pemerintah (Presiden)
sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat 1 UUD 1945. Dalam
pembahasan RUU tersebut kedudukan DPR merupakan partner dari presiden c.q
pemerintah. Maka pengesahan Rancangan Undang-undang oleh Presiden sangat
dimungkinkan karena RUU tersebut akhirnya merupakan kesepakatan antara DPR
dengan Pemerintah.
Selain beberapa bentuk Konvensi Ketatanegaraan tersebut di
atas, sebelum masa Orde Baru munculnya
Maklumat Wakil
Presiden Moh. Hatta, yang dikenal dengan Maklumat Nomor X. Maklumat ini
menimbulkan perdebatan hingga saat ini, apakah ini merupakan Konvensi
Ketatanegaraan yang bersifat kesepakatan (agreement) atau penyimpangan
terhadap Konstitusi Indonesia (UUD 1945)?.
Dalam sidang II KNP 16-17 Oktober 1945 di Jakarta, Sutan Sjahrir dan kawan-kawan mengajukan usul kepada pemerintah mengenai
perubahan kedudukan dan tugas KNP. Isi usul yang pada hakikatnya mengubah
ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD1945.[25]
1). Sebelum terbentuk MPR
dan DPR, Komite Nasional Pusat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan garis-garis besar haluan negara.
2) Berhubung dengan gentingnya
keadaan, pekerjaan sehari-hari KNP dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang
dipilih di antara dan bertanggung jawab kepada KNP.
Wakil Presiden Moh. Hatta yang hadir sebagai wakil
pemerintah langsung menyatakan setuju dengan usul tersebut, dan seketika itu
pula dibuat ketetapan berupa "Maklumat Wakil Presiden No. X" tanggal
16 Oktober 1945. Kehidupan negara baru yang pondasi bangunannya belum kokoh ditambah
keadaan dan situasi revolusi itu menghendaki tindakan serba cepat, sementara
sarana penunjang di segala bidang masih belum memadai dan mengandalkan
improvisasi. “Pemberian nomor X (huruf eks; bukan angka 10 hitungan Romawi
tetapi abjad ke-24) hanyalah terobosan teknis administratif”.[26]
Dengan perubahan ini KNIP tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga
negara pembantu Presiden tetapi menjadi lembaga negara yang sejajar dengan
kedudukan lembaga kepresidenan. KNP sejak itu menjadi lembaga legislatif yang
bersama-sama Presiden membuat undang-undang (tugas DPR menurut Pasal 5 UUD'45,
sebelum diamandemen tahun 1999), menetapkan garis-garis besar haluan negara
(tugas MPR menurut Pasal 3 UUD'45).[27] Seperti kita ketahui UUD 1945 menganut sistem kabinet presidensiil, di
mana presiden memegang kekuasaan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Tapi dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X Oktober
1945, yang diikuti pengumuman Peraturan Pemerintah bulan Nopember tentang
pendirian partai-partai politik dan pergantian sistem presidensiil menjadi
parlementer. Timbulnya Maklumat Wakil Presiden nomor X ini tentunya merubah
sistim pemerintahan yang dinaut oleh UUD 1945.
Dengan
memperhatikan substansi Maklumat Wakil Presiden nomor X sebagaiamana tersebut
di atas, jika dikaitkan dengan teori terbentuknya Konvensi Ketatanegaraan
sebagaimana yang disampaikan oleh KC. Wheare maka penulis berpendapat bahwa
Maklumat nomor X tersebut merupakan Konvensi Ketatanegaraan yang bersifat
Kesepakatan (Agreement). Konvensi jenis ini tidak perlu dilakukan secara
berulang-ulang dan dapat berbentuk tertulis dan dibuat dengan tegas.[28]
Mahfud MD berpendapat;
Bahwa memang ada sedikit yang secara artifisial tampak aneh yakni pada
periode pertama berlakunya UUD 1945 (1945-1949) yang merupakan empat tahun
pertama sistem politik parlementer (1945-1949) yang ternyata melahirkan sistem
politik yang demokratis. Namun dapat ditegaskan bahwa demokrasi dapat muncul
ketika itu justru karena UUD 1945 tidak diberlakukan di dalam praktik
ketatanegaraan melalui Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945
dan Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945. Kedua maklumat tersebut tidak
memberlakukan UUD 1945 tanpa mencabutnya secara resmi sehingga terbukalah
sistem politik yang demokratis itu. Konstitusionalitas Maklumat itu sendiri
bisa dikaitkan dengan Konvensi Ketatanegaraan karena langsung diterima rakyat.[29]
Dalam penerbitan dan pelaksanaan maklumat ini tidak ada pihak yang
berkeberatan atau menentang substansi maklumat ini, sehingga maklumat ini telah
mampu untuk mengubah substansi yang diatur oleh UUD 1945. Terhadap hal ini, Jimly Asshiddiqie berpendapat untuk mengubah dan
menyempurnakan Konstitusi (UUD 1945) dapat dilakukan melalui konvensi-konvensi
ketatanegaraan.[30]
Sedangkan Sri Sumantri berpendapat bahwa konvensi yang bersifat expres
agreement berbentuk tertulis dan dinyatakan secara tegas.[31]
Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa Maklumat Wakil Presiden nomor X
sudah sepatutnya diakatakan sebagai salah satu Konvensi Ketatanegaran yang
pernah ada di Indonesia, yang mana Maklumat Wakil Presiden nomor X ini telah
mampu bertahan selama kurang lebih 14 (empat belas) tahun dalam penyelenggaran
Negara Indonesia.
Terlepas dari hal-hal di atas
untuk mengetahui kedudukan Konvensi Ketatanegaraan dalam sistim hukum Indonesia
dewasa ini, dapatlah kita kaitkan dengan terbetuknya Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia. Dalam melaksanakan empat kewenangan dan satu kewajiban
sebagaimana yang dimuat dalan Pasal 24 C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945,
Mahkamah Konstitusi dapat melakukan penafsiran (interprestasi) terhadap
UUD 1945. Menurut Jimly Asshiddiqie, penafsiran (interprestasi) tersebut
dapat dilakukan terhadap Konvensi-Konvensi Ketatanegaraan yang berlaku.
Salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (yudicial
review). Dalam hal ini timbul pertanyaan apakah Mahkamah Konstitusi dapat
menjadikan Konvensi Ketatanegaraan sebagai dasar atau acuan terhadap pengujian
undang-undang atau dengan kata lain dapatkah undang-undang diuji terhadap
Konvensi Ketatanegaraan?, dimana dalam teori hukum konstitusi menyatakan bahwa
Konvensi Ketatanegaraan merupakan bagian dari Konstitusi yang mempunyai
kekuatan mengikat sama dengan Undang-Undang Dasar. Untuk menjawab pertanyaan
atau permasalahan ini tentunya harus dilakukan penelitian lebih lanjut dan pada
tataran yang lebih tinggi. Jimly Asshiddiqie berpendapat ;
Konstitusi terbuka untuk
diadakan evaluasi dan disempurnakan dari waktu ke waktu melalui mekanisme
politik. Tentu untuk mengubah dan menyempurnakan konstitusi, di samping bisa
dikembangkan lewat amendemen atau perubahan sebagaimana diatur dalam Pasal 37
UUD 1945, bisa juga dilakukan melalui konvensi-konvensi ketatanegaraan. Selain
itu, cara ketiga adalah dengan melakukan judicial
interpretation (penafsiran konstitusi). ”Maka, peranan MK dalam menafsirkan
konstitusi melalui perkara-perkara konstitusi bisa membantu menyempurnakan
kekurangan-kekurangan UUD 1945.
Berdasarkan pendapat Jimly di atas, maka Konvensi
Ketatanegaraan merupakan salah satu sarana untuk melakukan evaluasi dan penyempurnaan
Konstitusi. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa Konvensi Ketatanegaraan
mempunyai kedudukan yang sangat kuat dalam sistim hukum Indonesia. Konvensi
Ketatanegaraan merupakan bagian dari norma Hukum Konstitusi tidak tertulis yang
berfungsi melengkapi, menyempurkan atau bahkan merubah dan menyatakan tidak
berlaku substansi Konstitusi tertulis (UUD 1945) sebagai norma hukum tertinggi
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Pergerakan Kovensi Ketatanegaraan Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Hal yang paling
menarik dalam perkembangan Konvensi Ketatanegaraan Pasca Amandemen Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah pidato Presiden di Depan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang saat ini masih menjadi perdebatan panjang,
apakah dapat dijadikan sebagai Konvensi Ketatanegaraan atau sebaliknya tidak
bisa dijadikan sebagai Konvensi Ketatanegaraan.
DPD
merupakan lembaga negara baru yang lahir pasca amandemen UUD 1945. Dalam Pasal 22C ayat (2) UUD 1945
menyebutkan jumlah maksimum anggota DPD adalah sepertiga anggota DPR. Kewenangan
DPD membahas RUU adalah seperti dirumuskan dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945
hasil amandemen. DPD juga dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah. Pasal 22 D ayat (2) itu juga mengatur kewajiban DPD untuk memberikan
pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan dan agama.
Lahirnya DPD
dalam konsep ketatanegaraan Indonesia digagas guna meningkatkan keterwakilan
Daerah dalam proses pengambilan keputusan politik penyelenggaraan negara dengan harapan agar
tercipta integrasi bangsa yang kokoh dalam bingkai NKRI.[32] Ketentuan Pasal 22 C ayat (1) menegaskan
legitimasi DPD yang sangat kuat karena anggota DPD dipilih melalui pemilihan
umum, hal ini berbeda dengan utusan Daerah yang diangkat sebelum UUD 1945
amandemen.
Pasal 22 D UUD 1945 yang menegaskan DPD mempunyai
tiga macam fungsi, yakni fungsi legeslatif, fungsi pertimbangan, dan fungsi
pengawasan.[33] Sedangkan
DPR berdasarkan Pasal 20 A ayat (1) UUD 1945 juga mempunyai tigam macam fungsi,
yakni fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
Mengingat betapa beratnya tugas-tugas DPD
dalam pelaksanaan fungsi konstitusionalnya sebagaimana diamanatkan dalam pasal
22 D UUD 1945, maka tidak dapat tidak sidang-sidang DPD integritasnya relatif
sama dengan sidang-sidang DPR. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi-fungsi
DPD tersebut Pasal 22 C ayat (3) UUD 1945 hanya menegaskan bahwa,” Dewan
Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun”. Formulasi Pasal
22 C ayat (3) UUD 1945 tersebut membolehkan persidangan DPD lebih dari satu
kali dalam setahun disesuaikan dengan kebutuhan.[34]
DPD merupakan lembaga
legeslatif (parlemen) yang dapat mengadakan sidang bersama dengan DPR yang
bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pelaksanaan sidang gabungan ini
dapat diminta oleh DPD maupun DPR. Pasal 3 UUD 1945 menyebutkan :
(1)
Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah
dan menetapakan Undang-Undang Dasar.
(2)
Majelis Permusyawaratan Rakyat Melantik Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
(3)
Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut
Undang-Undang Dasar.
Dengan substansi kewenangan MPR
sperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akan sangat jarang sidang
MPR ini dilaksanakan. Hal ini berarti akan sangat jarang DPD duduk bersama DPR
dalam sidang yang memposisikan kedudukan mereka sama. Lantas hal apakah yang
harus dilakukan oleh DPD agar dapat menguatkan posisinya sebagai salah satu
kamar parlemen di Indonesia ?. Dahlan Thaib berpendapat untuk menguatkan
posisinya DPD harus menciptakan Konvensi Ketatanegaraan baru yang ada kaitannya
dengan proses penguatan politisi DPD antara lain :
1.
Yang sudah dilakukan; Pidato Presiden di depan
DPD dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus.
2.
Dalam Kaitanya dengan fungsi pengawasan DPD dapat
memanggil pejabat yang bersangkutan untuk didengar keterangannya.[35]
Bertitik tolak dari pendapat
yang dikemukan oleh Dahlan Thaib di atas, maka dapat kita cermati bahwa pidato
yang disampaikan oleh Presiden dihadapan DPD sudah dianggap sebagai Konvensi
Ketatanegaraan. Selain
itu, Yusril Ihza Mahendra, Sarwono Kusumaatmadja, Marwan Batubara, dan
Bivitri Susanti menyatakan Rapat Paripurna DPD pada bulan Agustus tersebut
sudah dianggap menjadi Konvensi Ketatanegaraan.[36]
Namun demikian, Sri Soemantri berpendapat bahwa untuk
dapat dianggap sebagai Konvensi Ketatanegaraan maka perlu juga diperbandingkan
antara substansi pidato Presiden pada waktu pertama kali pidato di depan DPD
tahun lalu dengan pidato tahun ini. "Kalau substansi itu sama dengan
substansi pidato presiden seperti tahun lalu, itu bisa dikatakan kebiasaaan ketatanegaraan”.[37]
Sedangkan, Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa untuk dapat dianggap suatu
konvensi, suatu kejadian tidak harus berulang-ulang. "Satu kali pun bisa
dianggap konvensi”.[38]
Berdasarkan pendapat para ahli di atas
dan dengan memperhatikan teori terbentuknya Konvensi Ketatanegaraan sebagaimana
yang dikemukakan oleh KC. Wheare maka Pidato Presiden di hadapan DPD pada
peringatan HUT RI pada bulan Agustus dapat digolongkan sebagai Konvensi
Ketatanegaraan yang timbul pasca Amandemen UUD 1945.
3.
Ketataatan Penyelenggara Negara Terhadap Konvensi
Ketatanegraan Pasca Terbentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Dicey merupakan orang yang
pertama kali mengemukan istilah Konvensi Ketatanegaraan merupakan ketentuan
ketatanegaraan yang tidak dapat dipaksakan oleh pengadilan. Apabila kita
merujuk pada pendapat ini tentunya sangat bertolak belakang dengan kodrat
manusia pada umumnya yang mentaati hukum karena takut dengan sanksi yang akan
dijatuhkan. Lantas mengapa Konvensi Ketaanegaraan bisa ditaati oleh penyelenggara
negara? padahal jelas-jelas bahwa Konvensi Ketatanegaraan tidak bisa dipaksakan
melalui peradilan.
Bagirmanan berpendapat bahwa
Konvensi tidak mempunyai daya paksa secara hukum. Tidak terdapat sanksi hukum,
upaya hukum atau lembaga yang dapat secara langsung digunakan untuk mendorong
atau memaksa penaatan terhadap konvensi.[39]
Ketaatan penyelenggara negara terhadap Konvensi Ketatanegaraan ini tentunya
dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak kalah pentingnya dengan sanksi yang
akan dijatuhkan terhadap pelanggarnya.
Dicey mengutarakan dua faktor
yang biasanya dipergunakan sebagai dasar ketaatan pada konvensi, yaitu: The
fear of imfeachment dan The force of public opinion.[40]
Pendapat Dicey ini masih bersifat umum, dalam artian belum merujuk pada
Konvensi Ketatanegaraan suatu negara.
Untuk menjawab dasar ketaatan
terhadap Konvensi Ketatanegaraan yang dikemukan oleh Dicey di atas, perlu kita
tengok lebih dekat ke dalam sistim pemerintahan di Indonesia. Sebagai negara
dengan sistim Pemerintahan Presidensil Indonesia tentunya berbeda negara yang
sistem pemerintahan parlementer. Tentunya hal ini berbeda pula dalam mekanisme
menjatuhkan seorang kepala pemerintahan. Dalam sistem hukum Indonesia tidak
mengenal lembaga Infeachment sebagai lembaga yang dapat menjatuhkan seorang
kepala pemerintahan akan tetapi di Indonesia memang infeachment ini dapat
dilakukan walaupun tidak ada lembaga Infeachment. Sejak terbentuknya Mahkamah
Konstitusi di Indonesia infeachment dapat dilakukan tetapi bukan atas
pelanggaran terhadap Konvensi Ketatanegaraan, melainkan pelanggaran sebagimana
yang dimaksud Pasal 7 B ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, infeachment bila
dilihat dalam penyelenggaraan Negara Indonesia belum dapat dikatakan sebagai
alasan yang mutlak bagi penyelenggara negara untuk mentaati Konvensi
Ketatanegaraan.
Faktor kedua yang mendorong
penyelenggara negara mentaati Konvensi Ketatanegaraan menurut Dicey adalah the
force of public opinion. Penyelenggara
negara mentaati Konvensi Ketatanegaraan karena adanya pendapat umum yang
memaksa, tentunya hal ini berbeda jika lihat ke dalam praktek penyelenggaraan
negara Indonesia, terutama pada masa Orde Baru karena penyelenggara negara
(Pemerintah) mempunyai kekuasaan yang sangat besar sehingga rakyat menjadi
lemah. Hal ini menyebabkan apapun pendapat umum tidak terlalu berpengaruh
terhadap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Akan tetapi, faktor kedua ini
mungkin juga sesuai dengan kondisi Indonesia pada masa pasca gerakan reformasi
tahun 1998 dan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal demokrasi, yang mana
prinsip demokrasi mulai dilaksanakan dalam penyelenggaraan negara dan pendapat
atau reaksi umum mempunyai pengaruh yang relatif besar terhadap kedudukan
penyelenggara negara (Pemerintah).
Selain karena kedua faktor di
atas, Dicey juga berkesimpulan bahwa penyelenggara negara mentaati konvensi
tidak lain karena the force of law.[41] Menurut Dicey daya paksa hukumlah yang
menyebabkan penyelenggara negara mentaati Konvensi Ketatanegaraan ‘‘sebab
pelanggaran terhadap terhadap prinsip-prinsip dasar Konstitusi dan Konvensi
hampir selalu membawa secara langsung pelanggar ke dalam pertikaian dengan
pengadilan dan hukum negara’’.[42]
Pelanggaran terhadap Konvensi
Ketatanegaraan sebagaimana yang dikemukakan oleh Dicey tidak dapat dipaksakan
oleh pengadilan. Apabila kita kaji dengan perkembangan Hukum Tata Negara saat
ini, maka timbul pertanyaan apakah tidak dapat dipaksakan yang dimaksud oleh
kedua ahli ini pada semua pengadilan atau hanya pengadilan umum saja. Hal ini
dikarenakan pada saat ini telah terbentuk Mahkamah Konstitusi yang lahir untuk
mengawal konstitusi, demokrasi, dan mewujudkan kehidupan ketatanegraan
Indonesia lebih baik.[43]
Dengan kewenangannya sebagimana dimuat dalam Pasal 24 C UUD 1945, terutama pada
kewenangan menyelesaikan sengketa antar Lembaga Negara yang kewenangannya
diberikan secara langsung tentunya dapat mengubah pendapat Dicey tersebut.
Sebagai contoh dari pernyataan di atas adalah dalam
Konvensi Ketatanegaraan Indonesia, setiap tanggal 16 Agustus Presiden
menyampaikan Pidato Kenegaraan dihadapan sidang DPR. Seandainya Presiden tidak
mau melaksanakan Konvensi Ketatanegaraan ini, tentunya akan menimbulkan aksi
protes dari DPR sehingga timbul sengketa antara Presiden dan DPR. Terjadinya
sengketa antar dua lembaga negara ini menimbulkan kewajiban Mahkamah Konstitusi
untuk menyelesaikannya. Lantas timbul pertanyaan dapatkah Mahkamah Konstitusi
dengan putusannya memaksa Presiden untuk melaksanakan pidato kenegaraan ini
dengan dasar Konvensi Ketatanegaraan yang telah terpelihara dalam
penyelenggaraan Negara Indonesia selama ini?, tentunya ini memerlukan
penelitian yang lebih lanjut. Apabila hasil penelitian nantinya menyatakan
Mahkamah Konstitusi dapat memaksa Presiden untuk melaksanakan pidato kenegaraan
tersebut, maka berarti Konvensi Ketatanegaraan keberlakuannya dapat dipaksakan
oleh pengadilan yaitu Pengadilan Konstitusi (Mahkamah Konstitusi).
Konvensi Ketatanegaraan adalah
kebiasaan di bidang ketatanegaraan. Jadi, pada dasarnya tidak ada perbedaan
dengan kebiasaan di bidang hukum yang lain. Apabila kebiasaan di bidang hukum
yang lain dapat dipaksakan oleh (melalui) pengadilan, maka tidak ada alasan
bahwa hal itu tidak berlaku juga pada Konvensi Ketatanegaraan. Konvensi adalah
ketentuan-ketentuan yang (mempunyai kekuatan) mengikat. Ketentuan yang diterima
sebagai kewajiban (obligatory) dalam menjalankan UUD.[44]
Bagirmanan selanjutnya
mengemukakan pendapat beberapa dasar atau faktor yang mendorong atau memaksa
ketaatan terhadap Konvensi Ketatanegaraan sebagai berikut :
1. Konvensi ditatai dalam
rangka memelihara dan mewujudkan kedaulatan rakyat, Konvensi merupakan salah
satu upaya mewujudkan dan memelihara demokrasi
2. Konvensi ditaati, karena
hasrat atau keinginan untuk memelihara tradisi pemerintahan konstitusional
(Constitusional Goverment)
3. Konvensi ditaati, karena
setiap pelanggaran akan membawa atau berakibat pelanggaran terhadap kaidah
hukum
4. Konvensi ditaati, karena
didorong oleh hasrat atau keinginan agar roda pemerintahan negara yang kompleks
tetap dapat berjalan secara tertib
5. Konvensi ditaati, karena
takut atau khawatir menghadapi ancaman hukuman tertentu, seperti impeachment,
atau takut terkena sanksi politik
tertentu, seperti kehilangan jabatan
6. Konvensi ditaati, karena
pengaruh pendapat umum (public Opinion). Pelanggaran terhadap Konvensi
akan menimbulkan reaksi umum, misalnya kehilangan dukungan masyarakat.[45]
Dari pendapat tersebut,
ditaatinya konvensi lebih karena pertimbangan politik dan bukan melihat
konvensi sebagai hukum tertinggi dalam negara. Dan untuk memperkuat kedudukan
konvensi makan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat memperkuat
keberadaan Konvensi Ketatanegaraan terutama daya paksa terhadap pelaksanaan
Konvensi Ketatanegaraan elalui penafsirannya terhadap konstitusi daam
pengertian yang luas.
D. KESIMPULAN
A. Kedudukan
Konvensi Ketatanegaran Sebagai Konstitusi Yang Tidak Tertulis Dalam Sistim
Hukum Ketetanegraan Republik Indonesia
1.
Dalam praktek ketatanegara kedudukan Konvensi
Ketatanegaraan dalam sistim hukum Indonesia setingkat dengan Konstitusi
tidak tertulis dan adakalanya mengubah konstitusi tertulis itu sendiri
disamping menambah dan menafsirkan. Dan pergerakan Kovensi Ketatanegaraan Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan kehadiran Mahakamah konstitsi secara
langsung belum dapat menjadi toetsingrecht dalam memutus sengketa di Mahkamah
Konstitusi.
B. Ketaatan
Penyelenggara Negara Terhadap Konvensi Ketatanegraan Pasca Terbentuknya Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia lebih dominan disebabkan alasan politik dari pada
alasan bahwa konvensi ketatanegaraan sebagai produk hukum konstitusi.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, 2005, Konstitusi &
Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Konstitusi Press
________________, 2006. Perkembangan dan
Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Kesekretaritan dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI
________________, 2008, Mahkamah Konstitusi
Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Bahan ceramah pada
Pendidikan Sespati dan Sespim Polri, Bandung, 19 April 2008. Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia.
Bagir Manan, 1987, Konvensi Ketatanegaraan, Bandung
: Armico
___________, 2003, Teori dan Politik Konstitusi,
Yogyakarta: FH UII Press
CF Strong, 2004, Konstitusi konstitusi Politik
modern Kajian tentang sejarah dan Bentuk-Bentuk KonstitusiDunia, Penerbitr
Nuansa dan Penerbit Nusamedia: Bandung
Sri Soemantri, 1987, Prosedur dan Sistem
Perubahan Konstitusi, Penerbit Alumni, Bandung
Thaib, Dahlan, 2009, Ketatanegaraan Indonesia
Perspektif Konstitusional, Yogyakarta : Total Media
Syahuri, Taufiqurrohman, 2004. Hukum Konstitusi
Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002 serta Perbandingannya dengan
Konstitusi Negara Lain di dunia. Bogor: Ghalia Indonesia.
[1] Dosen fakultas Hukum Universitas Bengkulu
[2] Mahasiswa S2 Fakultas Hukum Universitas Bengkulu
[3] Kurniawan S, 2008, Pokok-Pokok Perubahan Pertama UUD 1945 Tahun
1999. Website hosting by IdeBagus. Di akses pada tanggal 20 Mei 2009
jam 15.30.
[4] Jimly Asshiddiqie, 2006. Perkembangan
dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Kesekretaritan dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Jakarta.
Hal. 152
[5] Amancik, 2002. Bahan Ajar Hukum Tata Negara. Fakultas Hukum,
Universitas Bengkulu. Hal. 14
[6] Dahlan Thaib, dkk, 2008. Konvensi Dan Konstitusi Dalam Praktik
Ketatanegaraan Di Indonesia.
www. Google.com. Konvensi Ketatanegaraan. Diakses pada tanggal 25 Mei
209 Jam 15.30 WIB.
[7] Ibid.
[8] Jimly
Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi
Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia. Bahan ceramah pada
Pendidikan Sespati dan Sespim Polri, Bandung,
19 April 2008. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Hal 1-2
[9] Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum, Liberty,
Yogyakarta. Hlm. 38.
[10] Amancik. Op.Cit. Hal. 26
[11] Kurniawan.s. Loc.Cit
[12] Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 2000, Ilmu Negara. Edisi
Revisi, Gaya Media Pratama, Jakarta,
,hal. 139.
[13] Marnixon R.C.Wila, 2006, Konsepsi Hukum Dalam Pengaturan dan
pengelolaan Wilayah Perbatasan Antarnegara, PT. Alumni, Bandung.
Hal. 47
[14] Abu Daud Busroh, 2001, Ilmu Negara, Jakarta : Bumi Aksara. Hal.
96
[15] Lihat penjelasan UUD 1945 sebelum
amandemen.
[16] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme
Indonesia, (Jakarta:
Konstitusi Press, 2005), hal 27-28.
[17] Mirza Nasution, 2004, Negara dan Konstitusi, Sumatera Utara,
Bagian Ilmu Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Digitized by USU digital library. Hal. 3
[18] CF Strong sebagaimana yang dikutif dalam berbagai sumber menyebutkan
konstitusi berarati: “Constitusion may be
said a Collection of principles according to which tho powers of the government
the rights of the governed, and the
relations between the two are adjusted”.
[22] Bagir Manan, 1987, Op. Cit. Hal. 18
[23] Anonim, Konvensi Ketatanegaraan, Special Resume, dipublikasikan 22
September 2008. www. Google/konvensi/idd/peng.com
[24] Bagirmanan, 1987, Op. Cit. Hal. 29
[25]Dekrit dan Maklumat yang pernah ada. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0106/27/nasional/dekr08.htm. Diunduh pada tanggal 20 Agustus 2009 Pukul 20.08 WIB.
[26] Ibid
[27] Ibid
[28] Perhatikan pendapat KC Wheare sebagaimana dikutif oleh Bagirmanan
tentang terbentuknya Konvensi Ketatanegaraan.
[29] Mahfud MD. Jangan Putar Balik Jarum Amandemen UUD. Mahfud MD. Blog. Rabu, 10-06-2009 dipublikasikan Pukul 10:25:15.
[30] Wiwik Budi Wasito, Evaluasi Demi Penyempurnaan Konstitusi. Media On-Line Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia
. Tulisan ini dipublikasikan sejak hari Minggu , tanggal 10 Juni
2007, pukul 09:24:58
WIB.www. mahkamahkonstitusi.com. Diunduh pada tanggal 2 September 2009 Pukul 14.00 WIB
[31] Pendapat ini disampaikan oleh Sri Sumantri dalam menanggapi perdebatan
mengenai pidato Presiden di hadapan DPD
dalam memperingati HUT RI 17 Agustus, sebagaimana dimuat dalam media hokum
On-Line.
[32] Dahlan Thaib, 2009, Ketatanegaraan Indonesia Perspektif Konstitusional, Yogyakarta :
Total Media. Hal. 157
[33] Perhatikan bunyi Pasal 22 D UUD 1945
[34] Dahlan Thaib, 2009, Op.Cit. Hal.160
[36] Berita yang dimuat dalam situs Hukum On
Line pada tanggal 12 September 2009
[37] Ibid
[38] Ibid
[39] Bagir Manan, 1987. Op. Cit. Hal.
49
[41] Bagirmanan, 1987. Op.cit. hal. 52
[42] Ibid
[43]
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Dasar Tentang Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia.
Hal. 24
[45] Bagirmanan, 1987. Op.cit. hal.54
Komentar
Posting Komentar