INDEPENDENSI KEJAKSAAN SEBAGAI PELAKSANA KEKUASAAN PENUNTUTAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
Dipublikasikan Pada
Jurnal Konstitusi Edisi Pusat Kajian
Konstitusi Fakultas Hukum
Univeristas Bengkulu
Volume III Nomor 2 November 2010
Halaman 75-103
INDEPENDENSI KEJAKSAAN SEBAGAI PELAKSANA KEKUASAAN
PENUNTUTAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
Oleh
Ardilafiza,
S.H.M.Hum
Riky
Musriza, S.H.M.H.
ABSTRACT
Attorney General is implementing a state institution of state authority in the field of prosecution has a vital position in pengekan process of law, but prosecutors are in a position of power distribution system and the constitution in Indonesia is unclear. This is related to the question whether Kejakasaan as part of the power of government or as part of the body associated with the power of the judiciary?. Obscurity position brings indepensi and independence due to the impact Kejakasaa weak enforcement in Indonesia.
Keywords: Independence, the power of prosecution, the criminal justice integrated
A.
PENDAHULUAN
Negara hukum tidak dapat
diwujudkan apabila kekuasaan negara masih bersifat absolut atau tidak terbatas,
karena pada paham negara hukum terdapat keyakinan bahwa kekuasaan negara harus
di jalankan atas dasar hukum yang baik dan adil.[1]
Jadi pada negara hukum dapat dipahami, bahwa hubungan antara yang memerintah
dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan belaka, melainkan berdasarkan
suatu norma obyektif yang mengikat pihak yang memerintah. Adapun yang dimasud
dengan norma obyektif adalah hukum yang tidak hanya berlaku secara formal
tetapi juga dipertahankan ketika berhadapan dengan idea hukum.[2]
Untuk dapat dikatakan
sebagai negara hukum, suatu negara harus memiliki ciri negara hukum. Salah satu
ciri negara hukum adanya pemisahan kekuasaan negara (separation of powers)
yang akan diatur dalam konstitusi. Pemisahan dan pembagian kekuasaan bertujuan
untuk mencegah pemusatan kekuasaan dalam satu tangan dan untuk menciptakan
suatu keseimbangan kekuasaan yang menjamin agar fungsi-fungsi itu dijalankan
secara optimal, dan sekaligus mencegah kekuasaan esekutif mengambil ahli
fungsi-fungsi kekuasaan lain.[3]
Selain itu, menurut M. Elizabeth Magill pemisahan kekuasaan dalam ketentuan
konstitusi dapat dipahami sebagai suatu cara untuk mengontrol kekuasaan negara
dengan memisahkannya kedalam tiga kekuasaan yang berbeda, dan memberikan
jaminan terhadap pemisahan tersebut.[4]
Pemikiran tentang
teori kekuasaan negara sebagaimana dijelaskan, tidak memberikan penjelasan
dimana kedudukan Kejaksaan (lembaga pelaksana kekuasaan penuntutan). Menurut
pendapat Beneč Štefan dengan mengamati sejarah teori Separation of powers dari
yang Montesquieu, menyatakan bahwa Montesquieu dalam teorinya Separation of powers tidak menjelaskan
dimana cabang sistem penuntutan diletakkan. Walaupun di abad 14th, Jaksa
penuntut Kerajaan di Perancis merupakan suatu pejabat publik yang mewakili
raja, untuk melindungi hak kepemilikannya dan sebagai penuntut apabila adanya
tindak kejahatan.[5]
Pejabat yang melaksanakan penuntutan pidana
tersebut dalam sistem hukum pidana Indonesia di sebut dengan Jaksa.[6] Kata Jaksa bersumber dari nama pejabat hukum
pada zaman kerajaan Majapahit yang di sebut
“adhyaksa”.[7]
Adhyaksa adalah nama jabatan yang di
pegang oleh Gajah Mada pada masa kerajaan Majapahit yang fungsinya lebih mirip
seperti fungsi hakim pada sistem penegakan hukum modern.[8]
Jaksa dalam sistem peradilan pidana
Indonesia terorganisir dalam lembaga
negara yang dinamakan Kejaksaan Republik Indonesia. Kejaksaan Republik
Indonesia di pimpin oleh Jaksa Agung. Jaksa Agung adalah pejabat tinggi hukum
dan bertindak sebagai pengawal kepentingan publik.[9]
Jaksa Agung adalah pengendali kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam
ruang lingkup tugas dan kewenangan Kejaksaan. Kewenangan Jaksa Agung tersebut
di laksanakan dengan prinsip Kejaksaan sebagai sebuah kesatuan dan tidak
terpisah-pisahkan.[10]
Sehingga Jaksa Agung mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan
dengan pola sentralistik terhadap seluruh Jaksa di seluruh wilayah hukum
Republik Indonesia.
Dalam
menjalankan fungsinya dalam sistem peradilan pidana tugas dan fungsi Jaksa di atur di dalam Pasal
14 dan 15 KUHAP. Kejaksaan dengan fungsi
yang sangat dominan sebagai penyandang asas dominus
litis, pengendali proses perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang
dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan alat bukti
yang sah menurut undang-undang, dan sebagai executive
ambtenaar pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan dalam perkara
pidana.[11]
Selain tugas dan kewenangan Jaksa sebagai penuntut umum Jaksa juga berperan
dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum. Selain itu Jaksa dengan surat
kuasa khusus dapat bertindak baik di luar maupun di dalam pengadilan untuk dan
atas nama negara atau pemerintah dalam
perkara perdata dan tata usaha negara.[12]
Ditambah lagi Kejaksaan Republik Indonesia juga berperan sebagai penyidik dalam
berberapa tindak pidana khusus sebagai mana yang di atur di dalam
undang-undang.[13]
Namun kejaksaan dalam melaksanakan kewenangannya
sering mendapatkan berbagai bentuk intervensi dari kekuasaan. Bentuk-bentuk
intervensi yang menimbulkan
kontroversi tersebut antara lain penjatuhan pidana berat kepada
H.R. Dharsono, A.M. Fatwa dan Sri Bintang Pamungkas yang didakwa melakukan
perbuatan subversi hanya dengan kata-kata, penerapan Peninjauan Kembali dengan
pemidanaan yang bertentangan dengan undang-undang (KUHAP) yang lebih berat dari
pidana sebelumnya (sebelumnya putusan bebas). KUHP tidak mengenal PK terhadap
putusan bebas. Contoh konkret lain, penjatuhan pidana kepada pihak PDI yang
mempertahankan kantor dalam peristiwa 27
Juli 1906, sedangkan pihak penyerbu tidak dituntut dan beberapa kasus yang
lain.[14]
Kasus-kasus tersebut adalah contoh konkret adanya intervensi politis dalam
penegakan hukum.[15]
Dengan demikian Independensi Kejaksaan sebagai pelaksana kekuasaan
penuntutan adalaha masalah pokok yang akan dibicarakan.
B. Tinjauan
Pustaka
1.
Tinjauan Umum Kekuasaan Penuntutan Pidana
Di dalam Undang – Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksan Republik Indonesia dalam Pasal 1 yang dimaksudkan dengan penuntutan adalah :
“Tindakan Penuntut umum untuk
melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh hakIm disidang pengadilan”
Dalam hal ini diatur dalam Pasal 2
bahwa kewenangan dalam hal pelaksanaan kekuasaan negara dibidang penuntutan
tersebut diemban dan dilaksanakan oleh Kejaksaan Republik Indonesia sebagai
lembaga pemerintahan. Kekuasaan penuntutan tesebut dilaksanakan secara merdeka
dan dalam menjalankan fungsinya Kejaksaan satu dan tidak terpisah – pisahkan.
Kejaksaan merupakan salah satu lembaga
penegakan hukum pidana. Kejaksaan merupakan bagian dari sistem penegakan hukum
pidana terpadu (Intergrated Criminal
Justice System). Sistem penegakan hukum pidana merupakan bagian dari sistem
penegakan hukum, dan sistem penegakan hukum merupakan bagian dari kekuasaan
kehakiman. Bertolak dari pemikiran tersebut, Barda Nawawi Arief mengatakan dalam sistem peadilan pidana terdapat empat
sub sistem kekuasaan:
1)
Kekuasaan
Penyidikan (Badan Penyidikan)
2)
Kekuasan
Penuntutan (Badan Penuntutan)
3)
Kekuasan
Mengadili (Badan Pengadilan), dan
Bahwa dengan demikian
ketika kita membicarakan kekuasaan kehakiman, mata kita tidak hanya tertuju
kepada lembaga pengadilan (para hakim) tetapi semua elemen yang memiliki
kekuasaan di bidang penegakkan hukum yakni Polisi, Jaksa dan Hakim (pelaksana
putusan/penetapanhakim). Masing-masing komponen tersebut secara administrative
berdiri sendiri dan mempunyai tugas dan fungsi tersendiri sesuai dengan
kewenangan dan pengaturan yang dimilikinya. Namun tetap harus ada keterkaitan
antara sub-sistem tersebut. Keterkaitan antara sub-sistem satu dengan yang
lainnya adalah sangat erat satu sama lain.
Setiap masalah dalam salah satu subsistem akan menimbulkan dampak pada
sub system lainnya.
2.
Independensi
Kekuasaan Kehakiman
Independensi
berasal dari kata serapan bahasa Inggris yaitu Independent. Independent dalam bahasa Inggris berarti merdeka atau
berdiri sendiri. Dalam beberapa literatur ilmu hukum, dikenal adanya ‘judicial independence’ (kemerdekaan
yudisial) dan ‘judicial account-ability’
(akuntabilitas yudisial). Kemerdekaan yudisial adalah : kemerdekaan dari segala
macam bentuk pengaruh dan campur tangan kekuasaan lembaga lain, baik eksekutif
maupun legislatif. Jadi kemerdekaan yudisial lebih bersifat
struktural-kelembagaan,yakni dalam hubungan antar lembaga kenegaraan atau
cabang kekuasaan.[17]
Alexander
Hamilton dalam The Federalist menjelaskan independensi yudisial ini dengan mengilustrasikan
perbandingan antara kekuasaan yang dimiliki oleh tiga cabang kekuasaan :
in a
government in which they are separated from each other, the judi-ciary, from
the nature of its functions, will always be the least dangerousto the political
rights of the Constitution; because it will be least in acapacity to annoy or
injure them. The Executive not only dispenses thehonors, but holds the sword of
the community. The legislature not onlycommands the purse, but prescribes the
rules by which the duties and rights of every citizen are to be regulated. The
judiciary, on the con-trary, has no influence over either the sword or the
purse; no directioneither of the strength or of the wealth of the society; and
can take noactive resolution whatever. It may truly be said to have neither
FORCE or WILL, but merely judgment; and must ultimately depend upon theaid of
the executive arm even for the efficacy of its judgments.[18]
Jadi,
menurut Hamilton independensi yudisial diperlukan. Kekuasaan Kehakiman yang
Merdeka karena di antara ketiga cabang kekuasaan, lembaga peradilan adalah “the least dangerous to the political rights
of the Constitution”. Lembaga peradilan tidak memiliki pengaruh baik
kekuasaan (sword) maupun keuangan (purse) bila dibandingkan dengan kekuasaan
eksekutif dan legislatif. Kekuasaan kehakiman hanya memiliki kekuatan dalam
bentuk ‘putusan’ semata ( judgment).[19]
Lubet menyebutkan, bahwa
independensi yudisial mengandung nilai-nilai dasar: fairness, impartiality, dan
good faith. Hakim yang independen akan memberikan kesempatan yang sama dan
terbuka kepada setiap pihak untuk didengar tanpa mengait-kannya dengan
identitas atau kedudukan sosial pihak-pihaktersebut. Seorang hakim yang
independen akan bersikap imparsial, bebas dari pengaruh yang tak berhubungan
dan kebal dari tekanan pihak luar. Seorang hakim yang independen memutus
berdasarkan kejujuran (good faith), berdasarkan hukum sebagaimana yang
diketahuinya, tanpa menghiraukan akibat yang bersifat personal, politis ataupun
finansial.[20]
John Ferejohn (1998)
menyebutkan, bahwa secara prinsip tujuan dari kemerdekaan yudisial adalah untuk
memfasilitasi tiga nilai tertentu. Pertama, kemerdekaan yudisial merupakan
kondisi yang diperlukan untuk memelihara negara hukum. Kedua, dalam suatu
pemerintahan konstitusional, hanya hukum yang secara konstitusional memiliki
legitimasi yang harus ditegakkan dan pengadilan harus memiliki kemampuan untuk
melakukan tugas dalam memutuskan hukum tersebut. Karena itu, terdapat kebutuhan
agarpengadilan memiliki kemerdekaan untuk membatalkan aturan hukum yang
melanggar nilai-nilai tersebut. Ketiga, dalam negara demokrasi, pengadilan
harus memiliki otonomi yang kuat dalam menolak godaan untuk memberikan
penghormatan terlalu banyak pada pemegang kekuasaan ekonomi atau politik.[21]
The Universal
Declaration of Human Rights 1948
menyebutkan:
“Everyone
is entitled in full equality to a fair, and public hearing byan independent and
impartial tribunal” (Art. 10).
Demikian pula dalam The International Covenant on Civil and Political Rights(ICCPR),
1966 disebutkan, bahwa:
“everyone
shall be entitled to afair and public hearing by a competent, independent and
impartialtribunal established by law”[22]
Sementara itu, dalam Basic Principle on the Independence o fthe Judiciary yang
dihasilkan dalam Seventh United Nations Congress on the Prevention and the Treatment of
Offenders 1985 disebutkan, bahwa :
1) The judiciary
shall decide matters beforethem impartially, on the basis of facts and in
accordance with the law,without any restrictions, improper influences,
inducements, pressures,threats or interferences, direct or indirect, from any
quarter or forany reason;
2) The judiciary
shall have jurisdiction over all issues of a judicial nature and shall have
exclusive authority to decide whetheran issue submitted for its decision is
within its competence as definedby law;
3) There shall not be
any inappropriate or unwarranted inter-ference with the judicial process, nor
shall judicial decisions by thecourts be subject to revision. This principle is
without prejudice tojudicial review or to mitigation or commutation by
competent authori-ties of sentences imposed by the judiciary, in accordance
with the law.[23]
Ketentuan
dalam Basic Principle tersebut
menyebutkan beberapa wilayah independensi yudisial, termasuk unsur-unsur utama
pengambilan putusan hakim atau pengadilan, imparsialitas, kebebasan dari
pengaruh luar. Hanya dengan keberadaan suatu kemerdekaan pengadilan, hakim
dapat memutus perkara secaraimparsial dan berkeadilan, sebab “negara hukum”
mensyaratkanadanya hakim yang tidak takut atau khawatir atas akibat
ataupembalasan dari pihak luar.[24]
Harold
See menyebutkan adanya dua perspektif dalam memandang independensi yudisial.
Pertama, perspektif pemisahan kekuasaan dalam bentuk kemerdekaan kelembagaan (institutional independence) kekuasaan
kehakiman dari cabang pemerintahan lainnya. Aspeknya termasuk organisatoris
administrasi, personalia, dan finansial.
Kedua, perspektif demokrasi berupa kemerdekaan dalam membuat putusan (decisional independence). Hal ini
berkaitan dengan kewajiban khusus dari pengadilanterhadap negara hukum.
Peradilan bukan hanya salah satu cabang pemerintahan dalam kekuasaan kehakiman,
tetapi melaksanakan fungsi untuk menjamin terwujudnya negara hukum. Di dalamnya
terdapat perlindungan atas kemerdekaan hakim dalam memutusdari pengaruh
berbagai kepentingan.[25]
Hal
yang sama dikemukakan oleh John Ferejohn yang menyebutkan, bahwa konsepsi
tradisional menekankan kemerdekaan yudisial sebagai kemerdekaan dari campur
tangan pejabat pemerintahan. Selain itu terdapat konsepsi yang lebih luas yang
memandang kemerdekaan yudisial dari kepentingan sosial dan ekonomi yang sangat
kuat. Namun demikian, kemerdekaan yudisial bukanlah tujuan itu sendiri,
melainkan alat untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan dari kemerdekaan yudisial adalah terwujudnya
negara hukum dan melindungi kebebasan dan hak asasi.[26]
Manakala
hakim berbicara kemerdekaan yudisial sebagai tujuanitu sendiri, maka akan
mengakibatkan publik dan cabang ke-kuasaan yang lain berpikir bahwa peradilan
sebagai superior terhadap cabang kekuasaan lainnya. Oleh karena itu, kemerdekaan yudisial tidak
berarti kemerdekaan mutlak. Peradilan tidak bebasdari semua pengaruh; ia hanya
bebas dari pengaruh yang tak semestinya. Misalnya, kekuasaan kehakiman tidak
bebas dari kritik,tetapi ia bebas dari kritik yang tidak jujur, intimidasi,
atau pembalasan.
Dalam
kaitan itu, kemerdekaan yudisial tidak berada dalam ruang vakum. Kemerdekaan
yudisial tidak berarti isolasi yudisial atau pemisahan yudisial. Kemerdekaan tetap
berada dalam suatu hubungan interdependensi dengan cabang kekuasaan lainnya.
Hal ini seperti dikatakan oleh salah seorang Hakim Agung AS : “While
the Constitution diffuses power the better to secure liberty, it also
contemplates that practice will integrate the dispersed powers into a work-able
government. It enjoins upon its branches separateness but interindependence,
autonomy but reciprocity.”[27]
C. Independensi
Kejaksaan Sebagai Pelaksanan Kekuasaan Penuntutan
1. Kedudukan
Konstitusional Kejaksaan
Kedudukan
kejaksaan sebagai lembaga eksekutif tetap dipertahankan hingga orde reformasi.
Padahal salah satu agenda reformasi hukum adalah mereformasi institusi hukum
dan perundang-undangan. Kedudukan kejaksaan dalam pasal 24 ayat (3) UUD 1945
hanya dijadikan badan-badan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.
Kedudukan dan kewenangan kejaksaan dalam UUD 1945 tidak disebutkan secara
Inplisit sebagai bagian integral dari
kekusaan kehakiman Pengaturan kedudukan tersebut juga tercantum dalam
konsideran menimbang undang-undang kejaksaan. Padahal dalam secara
international kedudukan konstitusional lembaga peradilan harus dijamin oleh
Konstitusi. The United Nations Basic Principles on Independence of
The Judiciary yang dikeluarkan majelis umum PBB 1985 pada pasal 1 menyatakan
:
The
Independence of the judiciary shall be guaranteed by the state and enshirined
in the constitusion or the law of country. It is the duty of all govermental
and other institusions to respect and observe the independence of the judiciary
Independensi peradilan harus dijamin oleh
Negara dan diabadikan dalam Konstitusi
atau hukum negara. Ini adalah tugas dari
semua pemerintah dan lainnya lembaga
untuk menghormati dan mengamati independensi peradilan. Pengaturan kejaksaan
dalam undang-undang dasar (constitution)
suatu negara bukanlah merupakan hal yang baru, karena ternyata di dunia ini
terdapat hampir 90 (sembilan puluh) negara yang mengatur lembaga Kejaksaan
dan/atau Jaksa Agungnya dalam undang-undang dasar.[28]
Pada
hakekatnya dalam prinsip negara hukum keberadaan kekuasaan yudisial merupakan
kekuasaan yang bertujuan untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar tetap
berjalan pada kerangka hukum. Keberadaan kekuasaan yudusial yang independen merupakan jaminan bagi
tegaknya supremasi hukum. Independensi lembaga penegak hukum akan menghindari
terjadinya penyimpangan fungsi lembaga penegak hukum dan keadilan sebagai alat
untuk mempertahankan kekuasaan oleh sebuah rezim tertentu.
Melihat
hal tersebut maka peran strategis lembaga penegak hukum dalam sistem
ketatanegaraan dan mewujudkan prinsip negara hukum merupakan sesuatu yang krusial. Maka dari itu keberadaan lembaga
negara yang melaksanakan kekuasaan
yudisial termasuk kategori sebagai organ negara utama (auxilary organ). Sebagai organ negara utama maka sumber atribusi
kewenangan lembaga yudisial sepatutnya harus diatur secara jelas di dalam
konstitusi.
Atribusi
kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung
dan Badan Pemeriksa Keuangan di atur secara eksplisit dalam UUD 1945.
Atribusi langsung dari konstitusi meletakkan keberadaan MA dan BPK sejajar
dengan lembaga eksekutif dan legislatif. Sehingga fungsi pengawasan yang
dimiliki oleh MA dan BPK menjadi seimbang dalam
prinsip pendistribusian kekuasaan yang diterapkan di negara
Indonesia. Keadaan inilah yang menciptakan check and balances antar lembaga negara. Sebagai lembaga yang
sama-sama lahir dan mendapat atribusi kewenangan dari konstitusi maka secara
hierarki keberadaan MA dan BPK tidak
berada lebih rendah dari Presiden (Eksekutif) dan DPR (Legislatif).
Dilain
pihak Pasal 2 UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang kejaksaan menyatakan bahwa
kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan
undang-undang. Kekuasaan
Pemerintahan dalam UUD 1945 diartikan sebagai kekuasaan pemerintah dalam arti
yang sempit yaitu sebagai kekuasaan Presiden.[29] Ketidak pastian konstitusional dan kebingunan
pengaturan dalam UU Nomor 16 Tahun 2009 mengakibatkan tidak jelasnya kedudukan
kejaksaan sebagai yudikatif yaitu yaitu badan yang terjait dengan kekuuasaan
kehaiman atau sebagai kekuasaan pemerintahan yang berada sebagai sub ordinat
dari kekuasaan presiden. Ketidak pastian ini menimbulkan kemerdekaan yang
secara filosofis diatemukan dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 tidak dapat sebagai
mana mestinya.
2.
Pengangkatan dan Pemberhentian Jaksa Agung
Dalam indikator yang
terdapat dalam JRI peroses pemilihan dan pengangkatan pimpinan lembaga yudisial
merupakan indikator penting untuk menciptakan independensi. Proses pengangkatan
dan pemeberhentian tersebut masuk dalam indikator selection and appointment process. Di dalam International Bar Association Of Judicial Indepedence dalam bab Judges and Executive pada pasal 5 point
tegas dinyatakan sebagai berikut :
The Executive shall not have control over judicial
functions
Eksekutif tidak boleh
memiliki kontrol terhadap fungsi peradilan diakui sebagai sebuah prinsip hukum
internasional. Intervensi eksekutif akan berimplikasi terhadap kebebasan fungsi
lembaga peradilan dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Di dalam Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesiapengaturan keberadaan Jaksa Agung. Dalam pasal 19 dinyatakan bahwa
:
1)
Jaksa Agung
adalah pejabat negara.
2)
Jaksa Agung
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.[30]
Dengan kedudukan Jaksa Agung yang diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden, maka Jaksa Agung menjadi tidaklah Independen.
Secara Politik maka Jaksa Agung adalah menteri. Dalam sistem presidensial
menteri adalah pembantu presiden dan bertanggung jawab penuh terhadap Presiden.
Presiden maka sewaktu-waktu dengan kekuasaan yang dimiliikinya dapat
menegendalikan kekuasaan penuntutan pidana. Bukan hanya Jaksa Agung bahkan
seluruh Jaksa yang ada di Indonesia. Mengingat jaksa adalah satu dan tidak
terpisahkan dan jaksa melakukan penuntutan serta bertanggung jawab melalui
saluran hierarki kepada Jaksa Agung.
Banyak fakta-fakta yang menunjukkan dalam
penanganan sebuah kasus kejaksaan asangat rentan di intervensi oleh kekuasaan
eksekutif. Salah satu yang menyita perhatian, adalah tersiarnya transkrip
rekaman percakapan Presiden B.J Habibie kepada Jaksa Agung Andi Muhammad
Ghalib. Dalam percakapan tersebut Presiden terlihat mengatur upaya peneylidikan
dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto.
Ketika itu terlihat bahwa pemeriksaan oleh kejaksaan terhadap mantan Presiden
Soeharto hanyalah formalitas belaka dan tidak ada niat untuk meningkatkan
pemeriksaan ke tingkat penyidikan.[31]
Kelemahan
ketiga adalah mengenai pemberhentian Jaksa Agung. Dalam Pasal 22 ayat (1)
dinyatakan :
Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari
jabatnnya karena:
1) meninggal dunia;
2) permintaan sendiri;
3) sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
4) berakhir masa jabatannya;
5) tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21[32]
Dalam point d dinyatakan bahwa Jaksa Agung berhenti
apabila masa jabatannya berakhir. Namun dalam penjelasan pasal tersebut tidak
ada penjelasan yang rinci tentang periode masa jabatan Jaksa Agung. Keadaan ini
berpotensi menghilangkan independensi kekuasaan penuntutan. Jaksa Agung dapat
diberhentikan kapan pun tergantung pada keinginan Presiden.
Dominasi tunggal
Presiden dalam menentukan jabatan Jaksa Agung amat berbeda dalam proses
penentuan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang notabene merupakan lembaga yudisial.
Penentuan anggota dari ketiga lembaga negara tersebut tidak hanya didominasi
oleh satu lembaga saja. Melainkan melibatkan Presiden dan DPR. Bahkan khusus
untuk jabatan hakim agung pada Mahkamah Agung proses penyeleksian jabatannya
melibatkan lembaga Komisi Yudisial. Demikian juga halnya dalam menentukan
pimpinan lembaga. Ketua MA dipilih langsung oleh para hakim agung demikian juga
dengan BPK. Sedangkan ketua KPK ditentukan oleh suara terbanyak dalam proses
pemilihan anggota di DPR.
Proses pengangkatan
Jaksa Agung yang hanya melibatkan Presiden sesungguhnya mengurangi makna
penting Jaksa sebagai pihak yang mewakili kepentingan umum dalam penegakan
hukum. Sebagai pejabata hukum yang mewakili kepentingan umum Jaksa Agung
digambarkan oleh Tjeerd Sleeswijk Visser sebagai sosok yang memiliki
kepribadian yang jujur, tidak memiliki kepentingan politis, memiliki stardar
moral dan etika yang tinggi. Jaksa agung juga sebagai sosok yang dihargai oleh
masyarakat dan bertindak atas nama masyarakat. Apa yang digambarkan oleh Tjeerd
Sleeswijk Visser membuktikan bahwa jabatan tersebut memiliki arti yang sangat
penting bagi penegakan hukum.[33]
Menurut Suhadibroto,
pentingnya peran Jaksa Agung tersebut mengakibatkan Jaksa Agung harus
independen dan profesional. Pentingnya hal ini bahkan telah menjadi pemikiran
yang serius oleh masyarakat internasional. Pada pertemuan para Jaksa Agung di
Seoul Korea Selatan pada bulan September 1990 yang dihadiri 25 negara se Asia
Pasific, menghasilkan kriteria seorang Jaksa Agung yang independen dan
profesional, yakni bahwa Jaksa Agung adalah:[34]
1)
Attoney
general is man of Law
2)
Independent
attorney general generates economic prosperity, promotion of welfare, political
stability and development of democracy.
3)
The
Attorney General is the chief of legal officer;
4)
The
Attorney General is not subjects to the direction or control of any other
person or authority. He is essentially a man of law.
Kriteria tersebut di
atas memposisikan Jaksa Agung secara independen dan tidak dibawah kontrol
institusi atau otoritas apapun. Dalam hal ini, Jaksa Agung bahkan juga disebut
sebagai “a man of law” atau dengan
kata lain Jaksa Agung adalah abdi hukum yang sebenarnya.[35]
Oleh karena itu,
berdasarkan Pasal 19 ayat (20) jo Pasal 22 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
dapat disimpulkan bahwa Jaksa Agung tidak Independen. Hal ini disebabakan
presiden diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Posisi Jaksa Agung seperti
itu dapat menimbulkan dua masalah yang dalam litterateur disebut dengan “dual obligation” dan “conflicting loyalties” . Dalam ilmu Pemerintahan, Jaksa Agung
sebagai bawahan Presiden harus mampu melakukan 3 (tiga) hal yakni:[36]
1) Menjabarkan instruksi, petunjuk dan beberapa
kebijakan lainnya dari Presiden.
2) Melasanakan intruksi, petunjuk dan berbagai
kebijakan Presiden yang telah dijabarkan tersebut.
3) Mengamankan intruksi, petunjuk daan berbagai
kebijakan Presiden yang sementara telah dilasanakan.
Keadaan tersebut
mengakibatkan selalu timbul kontroversi dalam setiap pergantian Jaksa Agung.
Pada masa orde lama Jaksa Agung Soeprapto yang ketika itu diganti oleh Presiden
Soekarno karena berani menyelidiki kasus korupsi yang melibatkan Menteri Luar
Negeri.[37]
Demikian juga dengan
penerus Soeprapto, yaitu Jaksa Agung
Gatot Tarunamihardja. Gatot merupakan Jaksa Agung pertama pada masa
demokrasi terpimpin. Walaupun kedudukan nya sebagai menteri Gatot tetap berupaya untuk Indepnenden. Ketika beberapa oknum tentara melakukan
praktek penyelundupan melalui pelabuhan Tanjung Priok – yang kemudian dikenal
(pada masa itu sebagai Peristiwa Tanjung Priok), Gatot Tarunamihardja tampil
mengusutnya. Jendral Nasution memerintahkan penangkapan dan penahanan sang
Jaksa Agung yang sedang menjalankan tugasnya. Soekarno menengahi. Gatot
dibebaskan tapi dia juga dipecat.[38]
Kontroversi tersebut
terus berlanjut hingga orde reformasi. Pergantian Jaksa Agung
Soedjono.C.Atmonegoro, juga bernuansa politis karena keberaniannya menyelidiki
kasus korupsi mantan Presiden Soeharto.[39]
Demikian juga Jaksa Agung Marsilam Simanjuntak yang bahkan hanya menjabat dalam
hitunagan minggu untuk kemudian diganti oleh M.A Rachman.[40]
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh juga diganti dengan latar belakang politis.
Pergantian terjadi dikarenakan adanya permintaan dari DPR kepada Presiden
dilatarbelakangi hubungan yang tidak harmonis antara Jaksa Agung dengan komisi
III DPR.[41]
3.
Reposisi Kedudukan Kekuasaan Penuntutan Sebagai
Upaya Mewujudkan Independensi Kejaksaan
Dalam Sistem Ketatanegaraan
Pasal 24
ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen menegaskan, bahwa kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut
undang-undang. Selanjutnya dalam penjelasan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan
keuasaan merdeka, terlepasa dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
Dari
perumusan diatas terlihat, bahwa UUD 1945 pada awalnya tidak memberikan batasan
pengertian apa yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman, Pasal 24 UUD 45 hanya
menegaskan badan mana yang diserahi tugas/kewenagan untuk melakukan atau
melaksanakan kekuasaan kehakiman. Demikian pula penjelasan pasal 24 tidak
memberikan batasan pengertian mengenai kekuasaan kehakiman, tetapi hanya menegaskan sifat, kedudukan, eksistensi dari
kekuasaan kehakiman, yaitu sebagai kekuasaan yang merdeka dan mandiri.
Jadi UUD
45 (asli) pada mulanya tidak memberi batasan pengertian kekuasaan kehakiman.
Batasan pengertian kekuasaan kehakiman baru ada setelah keluarnya Undang-Undang
Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok Pokok Kekuasan kehakiman yang sat ini telah
mengalami perubahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, dan terakhir
diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.
Dalam Pasal 1 UU No 14/1970 jo UU No
35/1999 itu ditegaskan bahwa :
Kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan negera yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negera Hukum
Republik Indonesia [42]
Selanjutnya pada pasal 2
ditegaskan, bahwa :
Penyelenggara kekuasaan kehakiman
tercantum dalam pasal 1 diserahkan pada badan-badan peradilan dan ditetapkan
dengan undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan
mengadili, serta meyelesaikan setiap perkara yang diselesaikan kepadanya [43]
Perumusan tersebut kemudian
masuk ke dalam perubahan Pasal 24 UUD 1945 amandemen ke-3 (9 November 2001)
yang menegaskan sebagai berikut :
1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berda dibawahnya dalam lingkup peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkup peradilan militer, lingkup peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi
Memperhatikan
redaksi perumusan diatas dapat disimpulkan bahwa UU kekuasaan kehakiman UU
No14/1970 Juncto UU No 35/1999 dan UU No4/2004 dan UUD 45 (amandemen) lebih
menekankan dan menonjolkan pengertian kekuasaan kehakiman dalam arti sempit.
Hal ini terlihat dari redaksi di atas
yang lebih mengedepankan pengertian kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan
negera yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan. Jadi kekuasaan kehakiman
diidentikkan dengan kekuasaan peradilan atau kekuasaan mengadili. Dengan
demikian UU kekuasaan kehakman dan UUD 1945 (amandemen) hanya membatasai
kekusaan kehakiman dalam arti sempit, yaitu kekuasaan menegakkan hukum dan
keadilan di badan-badan peradilan.
Pembatasan
pengertian kekuasaan kehakiman dalam arti sempit menurut Barda Nawawi Arief sepatutnya
dikaji ulang karena pada hakekatnya kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara
dalam menegakkan hukum.[44]
Jadi kekuasaan kehakiman identik dengan kekuasaan untuk menegakkan hukum atau
kekuasaan penegakan hukum. Hakikat pengertian yang demikian sebenarnya terungkap juga dalam perumusan Pasal 1 UU No
14/1970 Juncto UU No 35/1999 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu pada kalimat
yang terakhir berbunyi : Guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Hanya
sayangnya kalimat itu tidak dirumuskan sebagai hakikat pengertian kekuasaan
kehakiman, tetapi sebaliknya di rumuskan sebagai tujuan dari diselenggarakannya
peradilan.[45]
Menurut Barda Nawawi Arief tujuan itulah yang sebenarnya hakekat dari kekuasaan kehakiman. Maka dari
itu dapat disimpulkan bahwa kekuasaan kehakiman ebagai kekuasaan untuk
menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya negara hukum Republik
Indonesia. [46]
Dengan
pengertian kekuasan kehakiman yang luas seperti yang dikemukakan diatas maka
kekuasaan kehakiman dapat diartikan bukan hanya kekuasan mengadili, tapi dapat
diartikan sebagai kekuasaan menegakkan hukum dalam suatu proses penegakan
hukum. Dalam perspektif sistem peradilan pidana terpadu (SPP) kekuasaan
kehakiman dibidang hukum pidana mencakup seluruh kewenangan dalam menegakkan
hukum pidana, yaitu kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan
mengadili dan kekusaan pelaksanaan putusan/pidana.
Kejaksaan
Republik Indonesia merupakan lembaga yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan pidana. Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan
pada hakekatnya kejaksaan merupakan bagian integral kekuasaan kehakiman.
Kejaksaan sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumya memegang peranan penting
dalam penegakan hukum pidana. Kejaksaan memainkan peranan dalam setiap tahapan
dalam sistem peradilan pidana.
Sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman maka
independensi kejaksaan harus pula terwujud dalam perannya melaksanakan
kekuasaan penuntutan pidana. Independensi yudisial harus diperluas tidak hanya
pada kekuasaan peradilan. Kekuasaan kehakiman yang independen tidak akan ada
artinya apabila hanya ada pada salah satu subsistem yaitu kekuasaan mengadili.
Permasalahan
sistem penuntutan dalam kekuasaan negara, juga menjadi pembahasan yang serius
di negara-negara eropa yang diwujudkan dengan mengadakan beberapa pertemuan
internasional antara lain pertemuan “The
Eropean Status of Justice” yang diselenggarakan pada buan Januari 1993 dan “The Paneuropean Conference” yang
diselenggarakan di Vienna pada bulan Mei 1999. Pada pertemuan “The Eropean Status of Justice” yang telah menjadi inspirasi diskusi-diskusi
selanjutnya tentang sistem penuntutan di dalam struktur kekuasaan negara, pada
salah satu pasal resolusinya menyatakan bahwa kemampuan untuk memutuskan secara
mandiri dalam lembaga penuntutan merupakan instrumen penting dalam mewujudkan
kekuasaan kehakiman yang mandiri. Mereka harus melepasakan tugas-tugas mereka
dari kekuasaan lainnya, selain itu harus adanya jaminan hak dan kewajiban Jaksa
secara hukum didalam melakukan proses penuntutan. Hal ini sebagaima diatur
dalam Section 9.1 dan Section 9.2, yakni:
1)
section
9.1. the following: Self-government in prosecution creates an essential
instrument of judicial power independence. Judges (public officers) in
prosecution secure equality of citizens before the law. They discharge their
functions independently on political power. They are subordinated to law only.
2)
section
9.2. Judges (prosecutors) who discharge their functions in prosecution shall
have identical rights and identical guarantees as stated in the Status hereof.[47]
Selain
itu berdasarkan beberapa pertemuan terdapat hal yang penting, yakni keberadaan
sistem penuntutan dalam menjalankan perannya di suatu negara agar dapat
berjalan dengan baik, harus disesuaikan dengan budaya dan sejarah dari
masing-masing negara.[48]Kedudukan
Kejaksaan sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif dipengaruhi oleh faktor
politis dan budaya sejarah masa lalu. Dalam lintasan sejarah ketatanegaraan
Indonesia keberadaan kejaksaan sebagai bagian dari eksekutif dipengaruhi
sejarah penegakan hukum Indonesia yang selalu mendapat intevensi dari penguasa.
Sejak zaman sebelum kewenagan jaksa sebagai pejabat penegak hukum disadari
memiliki peran yang startegis dalam sistem penegakan hukum pidana. Peran jaksa
selalu diupayakan agar dapat di politisasi untuk kepentingan politik tertentu.
Masa lalu Kejaksaan sebagai lembaga eksekutif terbukti membawa sejarah
penegakan hukum di Indonesia menjadi penegakan yang penuh dengan kepentingan
penguasa. Seperti yang tulis sampaikan dalam bab terdahulu begitu banyak fakta
seputar upaya intervensi penguasa dalam penegakan hukum yang dilakukan jaksa.
Dalam
perspektif budaya, meletakkan Jaksa Agung sebagai anggota kabinet ataupun
pejabat setingkat menteri juga amat mempengaruhi independensi lembaga
Kejaksaan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Denny Indrayana,[49] penjajahan yang dialami bangsa Indonesia
berabad-abad lamanya menciptakan budaya masyarakat Indonesia yang sangat ewuh-pakewuh
terhadap pimpinan. Karakter feodalistik tersebut juga dialami oleh aparat
penegak hukum semisal Kepolisian dan Kejaksaan yang secara struktural merupakan
pembantu presiden dalam kabinet. Sehingga meletakkan Kejaksaan dan Kepolisian
sebagai bagian dari eksekutif menimbulkan kemacetan dalam penegakan hukum di
Indonesia.
Kejaksaan
harus direposisi dari kedudukannya sebagai lembaga eksekutif. Selain itu, Andi
Hamzah juga menyarankan agar undang-undang mengenai Kejaksaan yang menempatkan
Kejaksaan sebagai alat pemerintah harus diganti dengan undang-undang baru.
Kejaksaan harus menjadi bagian Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman yang
independen tidak dicampuri oleh kekuasaan eksekutif.[50]
Hal ini berarti Andi Hamzah berpendapat bahwa kejaksaan harus berada dalam
lingkup kekuasaan kehakiman bukan dalam kekuasaan pemerintah.[51]
Sedangkan
Harkristuti Harkrisnowo mengatakan bahwa kejaksaan harus independen,
Harkristuti tidak menyinggung tentang independensi Jaksa Agung. Menurut
pendapatnya Kejaksaan sebagai alat penegak hukum harus dirumuskan kembali
dengan tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan undang-undang organiknya demi
independensi Kejaksaan.[52]
Menyadari
bahwa kekuasaan penuntutan merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman maka
pengertian kekuasaan kehakiman yang dijabarkan dalam Undang-Undang Dasar 1945
amandemen menjadi amat perlu untuk ditinjau kembali. Kekuasaan kehakimaan dalam
bidang penegakan hukum pidana pada kenyataannya berada pada sebuah sistem
penegakan hukum pidana yang terpadu. Keterpaduan tersebut saling memberikan
pengaruh dan kontrol satu sama lain terhadap lembaga yang berada dalam sistem
penegakan hukum pidana. Maka dari itu perlu untuk meletakkan kekuasaan
penyidikan, kekuasaan penuntutan dalam bab Kekuasaan Kehakiman di dalam
Undang-Undang dasar 1945 apabila dikemudian hari akan diadakan amandemen
kelima.
C.
Kesimpulan
1. Dengan kedudukan Kejakasaan sekarang maka sulit
untuk menjaga independensinya karena dari aspek konstittusional, pengwasan dan
pengangkatan Jakasa Agung, Kejakasaan tidak akan dapat melakukan kegiatannya
secara independen atau merdeka.
2. Untuk mewujudkan kekuasaan penuntutan yang
independen maka perlu untuk melakukan reposisi kedudukan Kejaksaan Republik
Indonesia Kejaksaan harus disadari merupakan bagian integral dari kekuasaan
kehakiman. Independensi kekuasaan kehakiman akan sangat dipengaruhi oleh
independennya lembaga-lemabaga lain yang terlibat dalam sistem peradilan pidana
terpadu. Kejaksaan harus dikeluarkan dalam struktur kekuasaan eksekutif.
Kejaksaan hendaknya direposisi sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman. Selain
itu juga sebagai lembaga pelaksana kekuasaan yudisial penting untuk mengatur
kedudukan Kejaksaan secara eksplisit dalam UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA :
Andi
Hamzah, 1994, Azas- Azas Hukum Pidana,
Jakarta, Rineka Cipta
--------------------
1996, Hukum Acara Pidana Indonesia,
Jakarta, Sinar Grafika
Azhari,1995,
Negara hukum Indonesia, analisis yuridis
normatif tentang unsur – unsurnya, Jakarta, UI Pers
Hans
Kelsen, 2007, Teori Umum Hukum dan
Negara, Jakarta, Bee Media
Jeremy
Pope, 2003, Strategi Memberantas Korupsi
Elemen Sistem Integritas Nasional, Jakarta, Yayasan Obor bekerjasama dengan
Transperancy International Indonesia
Jimly
Asshidiqie, 2008, Pokok – Pokok Hukum
Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta,PT. Bhuana Ilmu Populer
----------------------,
2006, Perkembangan dan Konsolidasi
Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Sekretariat Jendral Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia
Kejaksaan
Agung RI,1985, Lima Windu Sejarah
Kejaksaan RI (1945-1985), Jakarta
L.M
Fiedman, 1975, The Legal System : A
Social Science Persepctive, New York, Russel Sage Foundation,
Marwan Effendy, 2005, Kejaksaan
RI Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum, Jakarta, PT Gramedia
Moh
Kusnardi dan Hamaili Ibrahim, 1988, Pengantar
Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara
UI,
Moeljatno,
2002, Azas – Azas Hukum Pidana,
Jakarta, PT Rineka Cipta
Moh.
Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik dan
Hukum di Indonesia, Yogyakarta, Gama
Media
M.
Yahya Harahap, 2005, Pembahasan
,Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta,
Sinar Grafika
Notohamidjojo,1970, Makna
Negara Hukum, Jakarta, Badan Penerbit Kristen
Yudi
Kristiana,2006, Independensi Kejakasaan
Dalam Penyidikan Korupsi, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.
-----------------,Disertasi
Program Doktoral Universitas Diponegoro, Rekonstruksi
Birokrasi Kejaksaan Dengan Pendekatan Hukum Progresif.
MAKALAH DAN ARTIKEL
Beneč
Štefan, “Independence of Prosecution”
(makalah disampaikan dalam Seminar “The
prosecutor’s office in a democratic and constitutional state” organized by The
General Prosecutor’s Office and the Slovak National Supporting Committee of
Europe 2000, 25 April 2003 – 27 April 2003
Barda Nawawi Arief, Pokok-Pokok Pikiran
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka, Bahan masukan untuk laporan akhir tim pakar
Depertemen Kehakiman, Periode 1998/1999.
[1] Franz
Magnis Suseno, 2003, Etika Politik
(Pinsip-prinsip moral dasar kenegaran modern), Cet. 7.Jakarta: PT Gramedia,
hlm. 295.
[2] Ibid.
[3] Franz
Magnis Suseno, Op. Cit., hlm. 301
[4] M. Elizabeth Magill, Beyond Powers and Branches in Separation of Powers Law, University of
Pennsyl Law Review 2001, Working Paper No. 01-10, hlm. 1
[5] Beneč
Štefan, “Independence of Prosecution”
(makalah disampaikan dalam Seminar “The prosecutor’s office in a democratic and
constitutional state” organized by The General Prosecutor’s Office and the
Slovak National Supporting Committee of Europe 2000, 25 April 2003 – 27
April 2003), hlm. 14.
[6] Marwan Effendy, 2005, Kejaksaan
RI Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum, Gramedia, Jakarta, hlm 56
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Jeremy Pope, 2003, Strategi
Memberantas Korupsi, Kerjasama Yayasan obor dan Transparansi Internasional
Indonesia hlm 137 sebagaimana dikutip dalam Jhon.L Edward ,1964, Law Officers of The Crown, Sweet and
Maxel, London
[10] Undang-Undang Nomor 16 tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pasal 2 (ayat 3)
[11] Andi Hamzah, Op Cit hlm 72
[12] Undang – Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Pasal 30
[13] Dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Hak Azazi Manusia dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jaksa berperan juga sebagai penyidik.
[15] Andi Hamzah,2003, Makalah : Kemandirian
dan Kemerdekaaan kekuasaan Kehakiman,Diaksespadasitushttp://www.lfip.org/english/pdf/baliseminar/Kemandirian%20Hakim,
pada tanggal 25 April 2009
[16] Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga
Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hlm 23
[17] Aidul Fitricida,2008, Kekuasaan
Kehakiman Yang Merdeka Dan Bertanggung Jawab, Jurnal Konstitusi UNS, hlm 25
[18] Hamilton, Alexander, 2005, The Federalist No. 78, Tersedia:
http://www. constitution.org/ fed/federal hlm 78.htm.
[19] Ibid
[20] Lubet, Steven, 1998, “Judicial
Dicipline and Judicial Independence,”Law and Contemporary Problems, Vol. 61,
No. 3, Summer 1998. Hlm 61
[21] John Farejhon Dynamic of
Judicial Independence: Independence Judges, Dependent Judiciary, www. www.icclr.law.ubc.ca
[22] The Universal Declaration of
Human Rights, 1948. Article 14
[23] Basic Principle On The
Independence Of The Judiciary, Seventh United Nations Congress on the
Prevention of Crime and The Treatment of Offenders, Milan 26 Agustus s/d 6
September 1985.
[24] Kelly, F.B. William, 2005, An
Independent Judiciary: The Core of theRule of Law, Tersedia :
www.icclr.law.ubc.ca/Publications/Reports/An_Independant_ Judiciary.pdf
(Dikutip 5 Nopember2005)
[25] See, Harold, 1998, “Comment:
Judicial Selection and DecisionalIndependence,” Law and Contemporary
Problems, Vol. 61, No.3, Summer 1998.hlm 141-142
[26] John Farejohn, Op Cit
[27] Warren, Roger K., 2005, The
Importance of Judicial Independenceand Accountability, Tresedia:
http://www.ncsconline.org/WC/Publications/KIS_JudIndSpeech Script.pdf
(Dikutip 7 November 2009).
[28] Negara-negara yang mengatur Kejaksaan dan/atau Jaksa Agungnya dalam konstitusi
negara, yaitu: Afganistan, Angola, Argentina, Albania, Andorra, Armenia,
Barbadosa, Belize, Brazil, Bulgaria, Canada, Cambodia, Cape verde, Croatia,
Dominica, Fiji, Finlandia, Gambia, Guyana, Georgia, Greece, Guinea Biss, Haiti,
Hunggary, Ireland, Israel, Iran, Kazakhstan, Korea Selatan, Korea Utara,
Kyrgystan, Kiribati, Laos, Lebanon, Liberia, Lithuania, Malawi, Malaysia,
Malta, Myanmar, Macedonia, Madagascar, Mesir, Mangolia, Marocco, Mozambia,
Nauru, Oman, Papua New Guenea, Philipines, Polandia, Portugal, Republic of
Moldova, Pakistan, Paraguay, Romania, Rusia, St. Kitts and Nevis, St. Lucia, St
Vincent, Sierrra Leone, Solomon Islands, Seycheles, Saudi Arabia, Slovakia,
Somalia, Sout Africa, Spanyol, Suriname, Swedia, Syiria, Tuvalu, Trinidad and
Tobago, Thailand, Timor Laste, Turki, Vanuatu, Venezuela, Yamen, Yugoslavia,
Artikel :Memaknai Eksternalisasi
Kekuasaan Penuntutan di Indonesia, unduh dari www.ilham 69 blogspot diunduh pada hari Minngu 20 Maret 2010
[29]Lihat BAB IV UUD 1945
[30] Ibid Pasal 19
[31] Artikel : Bukti Habibie Tak Serius Periksa
Soeharto, Wakil Panji Masyarakat di Periksa Polisi diunduh dari http://iwan-uni.blogspot.com/2005/07/bukti-habibie-tak-serius-periksa.html pada hari Sabtu tanggal 18 Maret 2010
[32] Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
[33] Tjeerd Sleeswijk Visser, The
General Prosecutor and Responsiblilitiea, makalah disampaikan pada seminar “The Prosecutor`s office in a
democratic and constitusional state” di unduh dari situs dikutip dari
Marwan Effendy Op Cit hlm 43
[34] Ibid
[35] Ibid
[36] Marwan Effendy, Loc Cit hlm
125
[37] Daniel S.Lev, 1990, Politik
Pengembangan Kekuasaan Kehakiman, dalam Daniel.S Lev, 1990, Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan
dan Perubahan, LP3ES, Jakarta, hlm
59
[38] Ibid hlm 60
[39] Marwan Effendy Loc Cit hlm
73
[40] Ibid
[41] Abdul Rahman Saleh, 2008, Bukan
Kampung Maling Bukan Desa Ustadz Memoar 930 Hari di Puncak Gedung Bundar,
KompasGramedia, Jakarta, hlm 426
[42] Pasal Undang-Undang Nomor 14 Juncto Undang-Undang Nomro 35 Tahun 1999
tentang Kekusaan Kehakiman
[43] Ibid Pasal 2
[44] Barda Nawawi Arief,2008,Masalah
Penegakan Hukum dan Kebijakan Penggulangan Kejahatan, Prenanda Media Grup,
Jakarta, hlm 33
[45] Ibid
[46] Ibid hlm 35
[47] Benec Stevan, Op Cit
[48] Ibid
[49] Artikel : Mengapa Elite Sulit di Sentuh Hukum di
unduh dari situs : http://www.inilah.com/berita_print.php?id=47 pada hari Minggu tanggal 20 Maret 2010
[50] Andi Hamzah, “Posisi Kejaksaan dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia”, (makalah diajukan pada seminar menyambut hari bakti adiyaksa,
Jakarta 20 Juli 2000), hal. 5-6.
[51] Ibid
[52] Harkristuti Harkrisnowo, “Kejaksaan Agung dalam Tatanan Kelembagaan:
Beberapa catatan Awal”, (makalah disampaikan pada Seminar Hukum dalam Konteks
Perubahan ke Dua UUD 1945 yang deselenggarakan oleh MPR dan Fakulktas Hukum
Universitas Indonesia. Jakarta 24-26 Maret 2000), hal. 7.
Mohon maaf, untuk tulisan anda pada alinea 1 s.d. 3, menurut pengamatan saya, anda tidak menuliskan sumber kutipannya secara utuh. Sepengetahuan saya, bagian tulisan tersebut diambil (tanpa menyebutkan sumbernya secara utuh) dari tulisan saya dan rekan saya yang berjudul "MEMAKNAI INDEPENDENSI KEKUASAAN PENUNTUTAN DI INDONESIA". Tulisan saya tersebut sudah dimuat pula di dalam Jurnal Hukum Themis (Fakultas Hukum Universitas Pancasila) jauh sebelum anda mempublikasikan tulisan anda ini.
BalasHapusSalam hormat,
Endra Wijaya.
Casino Near Me | MapyRO
BalasHapusSearch for Casino Near Me 통영 출장마사지 in Muhle, MS. Get reviews, 대구광역 출장샵 ratings, 충주 출장마사지 restaurants, amenities, directions, and 대전광역 출장마사지 reviews of Casino Near Me, ranked 김포 출장마사지 by