INDEPENDENSI KEJAKSAAN SEBAGAI PELAKSANA KEKUASAAN PENUNTUTAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA


Dipublikasikan Pada
Jurnal Konstitusi Edisi Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum
Univeristas Bengkulu
Volume III Nomor 2 November 2010
Halaman 75-103

INDEPENDENSI KEJAKSAAN SEBAGAI PELAKSANA KEKUASAAN PENUNTUTAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

Oleh
Ardilafiza, S.H.M.Hum
Riky Musriza, S.H.M.H.

ABSTRACT

Attorney General is implementing a state institution of state authority in the field of prosecution has a vital position in pengekan process of law, but prosecutors are in a position of power distribution system and the constitution in Indonesia is unclear. This is related to the question whether Kejakasaan as part of the power of government or as part of the body associated with the power of the judiciary?. Obscurity position brings indepensi and independence due to the impact Kejakasaa weak enforcement in Indonesia.

Keywords: Independence, the power of prosecution, the criminal justice integrated

A.       PENDAHULUAN
Negara hukum tidak dapat diwujudkan apabila kekuasaan negara masih bersifat absolut atau tidak terbatas, karena pada paham negara hukum terdapat keyakinan bahwa kekuasaan negara harus di jalankan atas dasar hukum yang baik dan adil.[1] Jadi pada negara hukum dapat dipahami, bahwa hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan belaka, melainkan berdasarkan suatu norma obyektif yang mengikat pihak yang memerintah. Adapun yang dimasud dengan norma obyektif adalah hukum yang tidak hanya berlaku secara formal tetapi juga dipertahankan ketika berhadapan dengan idea hukum.[2]
Untuk dapat dikatakan sebagai negara hukum, suatu negara harus memiliki ciri negara hukum. Salah satu ciri negara hukum adanya pemisahan kekuasaan negara (separation of powers) yang akan diatur dalam konstitusi. Pemisahan dan pembagian kekuasaan bertujuan untuk mencegah pemusatan kekuasaan dalam satu tangan dan untuk menciptakan suatu keseimbangan kekuasaan yang menjamin agar fungsi-fungsi itu dijalankan secara optimal, dan sekaligus mencegah kekuasaan esekutif mengambil ahli fungsi-fungsi kekuasaan lain.[3] Selain itu, menurut M. Elizabeth Magill pemisahan kekuasaan dalam ketentuan konstitusi dapat dipahami sebagai suatu cara untuk mengontrol kekuasaan negara dengan memisahkannya kedalam tiga kekuasaan yang berbeda, dan memberikan jaminan terhadap pemisahan tersebut.[4]
Pemikiran tentang teori kekuasaan negara sebagaimana dijelaskan, tidak memberikan penjelasan dimana kedudukan Kejaksaan (lembaga pelaksana kekuasaan penuntutan). Menurut pendapat Beneč Štefan dengan mengamati sejarah teori Separation of powers dari yang Montesquieu, menyatakan bahwa Montesquieu dalam teorinya Separation of powers tidak menjelaskan dimana cabang sistem penuntutan diletakkan. Walaupun di abad 14th, Jaksa penuntut Kerajaan di Perancis merupakan suatu pejabat publik yang mewakili raja, untuk melindungi hak kepemilikannya dan sebagai penuntut apabila adanya tindak kejahatan.[5]
Pejabat yang melaksanakan penuntutan pidana tersebut dalam sistem hukum pidana Indonesia di sebut dengan Jaksa.[6]  Kata Jaksa bersumber dari nama pejabat hukum pada zaman kerajaan Majapahit yang di sebut “adhyaksa”.[7] Adhyaksa adalah nama jabatan yang di pegang oleh Gajah Mada pada masa kerajaan Majapahit yang fungsinya lebih mirip seperti fungsi hakim pada sistem penegakan hukum modern.[8]
Jaksa dalam sistem peradilan pidana Indonesia terorganisir  dalam lembaga negara yang dinamakan Kejaksaan Republik Indonesia. Kejaksaan Republik Indonesia di pimpin oleh Jaksa Agung. Jaksa Agung adalah pejabat tinggi hukum dan bertindak sebagai pengawal kepentingan publik.[9] Jaksa Agung adalah pengendali kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan kewenangan Kejaksaan. Kewenangan Jaksa Agung tersebut di laksanakan dengan prinsip Kejaksaan sebagai sebuah kesatuan dan tidak terpisah-pisahkan.[10] Sehingga Jaksa Agung mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dengan pola sentralistik terhadap seluruh Jaksa di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia.
Dalam  menjalankan fungsinya dalam sistem peradilan pidana  tugas dan fungsi Jaksa di atur di dalam Pasal 14 dan 15 KUHAP.  Kejaksaan dengan fungsi yang sangat dominan sebagai penyandang asas dominus litis, pengendali proses perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah menurut undang-undang, dan sebagai executive ambtenaar pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan dalam perkara pidana.[11]
Selain tugas dan kewenangan Jaksa  sebagai penuntut umum Jaksa juga berperan dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum. Selain itu Jaksa dengan surat kuasa khusus dapat bertindak baik di luar maupun di dalam pengadilan untuk dan atas nama negara  atau pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara.[12] Ditambah lagi Kejaksaan Republik Indonesia juga berperan sebagai penyidik dalam berberapa tindak pidana khusus sebagai mana yang di atur di dalam undang-undang.[13]   
Namun kejaksaan dalam melaksanakan kewenangannya sering mendapatkan berbagai bentuk intervensi dari kekuasaan. Bentuk-bentuk intervensi  yang menimbulkan kontroversi  tersebut  antara lain penjatuhan pidana berat kepada H.R. Dharsono, A.M. Fatwa dan Sri Bintang Pamungkas yang didakwa melakukan perbuatan subversi hanya dengan kata-kata, penerapan Peninjauan Kembali dengan pemidanaan yang bertentangan dengan undang-undang (KUHAP) yang lebih berat dari pidana sebelumnya (sebelumnya putusan bebas). KUHP tidak mengenal PK terhadap putusan bebas. Contoh konkret lain, penjatuhan pidana kepada pihak PDI yang mempertahankan kantor  dalam peristiwa 27 Juli 1906, sedangkan pihak penyerbu tidak dituntut dan beberapa kasus yang lain.[14] Kasus-kasus tersebut adalah contoh konkret adanya intervensi politis dalam penegakan hukum.[15]
Dengan demikian Independensi  Kejaksaan sebagai pelaksana kekuasaan penuntutan adalaha masalah pokok yang akan dibicarakan.

B.  Tinjauan Pustaka

1.      Tinjauan Umum Kekuasaan Penuntutan Pidana
Di dalam Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksan Republik Indonesia dalam Pasal 1  yang dimaksudkan dengan penuntutan adalah :
“Tindakan Penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakIm disidang pengadilan”
Dalam hal ini diatur dalam Pasal 2 bahwa kewenangan dalam hal pelaksanaan kekuasaan negara dibidang penuntutan tersebut diemban dan dilaksanakan oleh Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan. Kekuasaan penuntutan tesebut dilaksanakan secara merdeka dan dalam menjalankan fungsinya Kejaksaan satu dan tidak terpisah – pisahkan.
Kejaksaan merupakan salah satu lembaga penegakan hukum pidana. Kejaksaan merupakan bagian dari sistem penegakan hukum pidana terpadu (Intergrated Criminal Justice System). Sistem penegakan hukum pidana merupakan bagian dari sistem penegakan hukum, dan sistem penegakan hukum merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman. Bertolak dari pemikiran tersebut, Barda Nawawi Arief mengatakan  dalam sistem peadilan pidana terdapat empat sub sistem kekuasaan:
1)             Kekuasaan Penyidikan (Badan Penyidikan)
2)             Kekuasan Penuntutan (Badan Penuntutan)
3)             Kekuasan Mengadili (Badan Pengadilan), dan
4)             Kekuasaan Pelaksana pidana (Badan Eksekusi)[16]

Bahwa dengan demikian ketika kita membicarakan kekuasaan kehakiman, mata kita tidak hanya tertuju kepada lembaga pengadilan (para hakim) tetapi semua elemen yang memiliki kekuasaan di bidang penegakkan hukum yakni Polisi, Jaksa dan Hakim (pelaksana putusan/penetapanhakim). Masing-masing komponen tersebut secara administrative berdiri sendiri dan mempunyai tugas dan fungsi tersendiri sesuai dengan kewenangan dan pengaturan yang dimilikinya. Namun tetap harus ada keterkaitan antara sub-sistem tersebut. Keterkaitan antara sub-sistem satu dengan yang lainnya adalah sangat erat satu sama lain.  Setiap masalah dalam salah satu subsistem akan menimbulkan dampak pada sub system lainnya.

2.     Independensi Kekuasaan Kehakiman
Independensi berasal dari kata serapan bahasa Inggris yaitu Independent. Independent dalam bahasa Inggris berarti merdeka atau berdiri sendiri. Dalam beberapa literatur ilmu hukum, dikenal adanya ‘judicial independence’ (kemerdekaan yudisial) dan ‘judicial account-ability’ (akuntabilitas yudisial). Kemerdekaan yudisial adalah : kemerdekaan dari segala macam bentuk pengaruh dan campur tangan kekuasaan lembaga lain, baik eksekutif maupun legislatif. Jadi kemerdekaan yudisial lebih bersifat struktural-kelembagaan,yakni dalam hubungan antar lembaga kenegaraan atau cabang kekuasaan.[17]
Alexander Hamilton dalam The Federalist menjelaskan independensi yudisial ini dengan mengilustrasikan perbandingan antara kekuasaan yang dimiliki oleh tiga cabang kekuasaan :
in a government in which they are separated from each other, the judi-ciary, from the nature of its functions, will always be the least dangerousto the political rights of the Constitution; because it will be least in acapacity to annoy or injure them. The Executive not only dispenses thehonors, but holds the sword of the community. The legislature not onlycommands the purse, but prescribes the rules by which the duties and rights of every citizen are to be regulated. The judiciary, on the con-trary, has no influence over either the sword or the purse; no directioneither of the strength or of the wealth of the society; and can take noactive resolution whatever. It may truly be said to have neither FORCE or WILL, but merely judgment; and must ultimately depend upon theaid of the executive arm even for the efficacy of its judgments.[18]
Jadi, menurut Hamilton independensi yudisial diperlukan. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka karena di antara ketiga cabang kekuasaan, lembaga peradilan adalah “the least dangerous to the political rights of the Constitution”. Lembaga peradilan tidak memiliki pengaruh baik kekuasaan (sword) maupun keuangan (purse) bila dibandingkan dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif. Kekuasaan kehakiman hanya memiliki kekuatan dalam bentuk ‘putusan’ semata ( judgment).[19]
Lubet menyebutkan, bahwa independensi yudisial mengandung nilai-nilai dasar: fairness, impartiality, dan good faith. Hakim yang independen akan memberikan kesempatan yang sama dan terbuka kepada setiap pihak untuk didengar tanpa mengait-kannya dengan identitas atau kedudukan sosial pihak-pihaktersebut. Seorang hakim yang independen akan bersikap imparsial, bebas dari pengaruh yang tak berhubungan dan kebal dari tekanan pihak luar. Seorang hakim yang independen memutus berdasarkan kejujuran (good faith), berdasarkan hukum sebagaimana yang diketahuinya, tanpa menghiraukan akibat yang bersifat personal, politis ataupun finansial.[20]
John Ferejohn (1998) menyebutkan, bahwa secara prinsip tujuan dari kemerdekaan yudisial adalah untuk memfasilitasi tiga nilai tertentu. Pertama, kemerdekaan yudisial merupakan kondisi yang diperlukan untuk memelihara negara hukum. Kedua, dalam suatu pemerintahan konstitusional, hanya hukum yang secara konstitusional memiliki legitimasi yang harus ditegakkan dan pengadilan harus memiliki kemampuan untuk melakukan tugas dalam memutuskan hukum tersebut. Karena itu, terdapat kebutuhan agarpengadilan memiliki kemerdekaan untuk membatalkan aturan hukum yang melanggar nilai-nilai tersebut. Ketiga, dalam negara demokrasi, pengadilan harus memiliki otonomi yang kuat dalam menolak godaan untuk memberikan penghormatan terlalu banyak pada pemegang kekuasaan ekonomi atau politik.[21]
The Universal Declaration of Human Rights 1948 menyebutkan:
“Everyone is entitled in full equality to a fair, and public hearing byan independent and impartial tribunal” (Art. 10).
Demikian pula dalam The International Covenant on Civil and Political Rights(ICCPR), 1966 disebutkan, bahwa:
“everyone shall be entitled to afair and public hearing by a competent, independent and impartialtribunal established by law”[22]
Sementara itu, dalam Basic Principle on the Independence o fthe Judiciary yang dihasilkan dalam  Seventh United Nations Congress on the Prevention and the Treatment of Offenders 1985 disebutkan, bahwa : 
1)      The judiciary shall decide matters beforethem impartially, on the basis of facts and in accordance with the law,without any restrictions, improper influences, inducements, pressures,threats or interferences, direct or indirect, from any quarter or forany reason;
2)      The judiciary shall have jurisdiction over all issues of a judicial nature and shall have exclusive authority to decide whetheran issue submitted for its decision is within its competence as definedby law;
3)      There shall not be any inappropriate or unwarranted inter-ference with the judicial process, nor shall judicial decisions by thecourts be subject to revision. This principle is without prejudice tojudicial review or to mitigation or commutation by competent authori-ties of sentences imposed by the judiciary, in accordance with the law.[23]
Ketentuan dalam Basic Principle tersebut menyebutkan beberapa wilayah independensi yudisial, termasuk unsur-unsur utama pengambilan putusan hakim atau pengadilan, imparsialitas, kebebasan dari pengaruh luar. Hanya dengan keberadaan suatu kemerdekaan pengadilan, hakim dapat memutus perkara secaraimparsial dan berkeadilan, sebab “negara hukum” mensyaratkanadanya hakim yang tidak takut atau khawatir atas akibat ataupembalasan dari pihak luar.[24]
Harold See menyebutkan adanya dua perspektif dalam memandang independensi yudisial. Pertama, perspektif pemisahan kekuasaan dalam bentuk kemerdekaan kelembagaan (institutional independence) kekuasaan kehakiman dari cabang pemerintahan lainnya. Aspeknya termasuk organisatoris administrasi, personalia, dan finansial.  Kedua, perspektif demokrasi berupa kemerdekaan dalam membuat putusan (decisional independence). Hal ini berkaitan dengan kewajiban khusus dari pengadilanterhadap negara hukum. Peradilan bukan hanya salah satu cabang pemerintahan dalam kekuasaan kehakiman, tetapi melaksanakan fungsi untuk menjamin terwujudnya negara hukum. Di dalamnya terdapat perlindungan atas kemerdekaan hakim dalam memutusdari pengaruh berbagai kepentingan.[25]
Hal yang sama dikemukakan oleh John Ferejohn yang menyebutkan, bahwa konsepsi tradisional menekankan kemerdekaan yudisial sebagai kemerdekaan dari campur tangan pejabat pemerintahan. Selain itu terdapat konsepsi yang lebih luas yang memandang kemerdekaan yudisial dari kepentingan sosial dan ekonomi yang sangat kuat. Namun demikian, kemerdekaan yudisial bukanlah tujuan itu sendiri, melainkan alat untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan dari  kemerdekaan yudisial adalah terwujudnya negara hukum dan melindungi kebebasan dan hak asasi.[26]
Manakala hakim berbicara kemerdekaan yudisial sebagai tujuanitu sendiri, maka akan mengakibatkan publik dan cabang ke-kuasaan yang lain berpikir bahwa peradilan sebagai superior terhadap cabang kekuasaan lainnya.  Oleh karena itu, kemerdekaan yudisial tidak berarti kemerdekaan mutlak. Peradilan tidak bebasdari semua pengaruh; ia hanya bebas dari pengaruh yang tak semestinya. Misalnya, kekuasaan kehakiman tidak bebas dari kritik,tetapi ia bebas dari kritik yang tidak jujur, intimidasi, atau pembalasan.
Dalam kaitan itu, kemerdekaan yudisial tidak berada dalam ruang vakum. Kemerdekaan yudisial tidak berarti isolasi yudisial atau pemisahan yudisial. Kemerdekaan tetap berada dalam suatu hubungan interdependensi dengan cabang kekuasaan lainnya. Hal ini seperti dikatakan oleh salah seorang Hakim Agung AS :  “While the Constitution diffuses power the better to secure liberty, it also contemplates that practice will integrate the dispersed powers into a work-able government. It enjoins upon its branches separateness but interindependence, autonomy but reciprocity.”[27]

C.    Independensi Kejaksaan Sebagai Pelaksanan Kekuasaan Penuntutan

1.      Kedudukan Konstitusional Kejaksaan
Kedudukan kejaksaan sebagai lembaga eksekutif tetap dipertahankan hingga orde reformasi. Padahal salah satu agenda reformasi hukum adalah mereformasi institusi hukum dan perundang-undangan. Kedudukan kejaksaan dalam pasal 24 ayat (3) UUD 1945 hanya dijadikan badan-badan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Kedudukan dan kewenangan kejaksaan dalam UUD 1945 tidak disebutkan secara Inplisit  sebagai bagian integral dari kekusaan kehakiman Pengaturan kedudukan tersebut juga tercantum dalam konsideran menimbang undang-undang kejaksaan. Padahal dalam secara international kedudukan konstitusional lembaga peradilan harus dijamin oleh Konstitusi. The United  Nations Basic Principles on Independence of The Judiciary yang dikeluarkan majelis umum PBB 1985 pada pasal 1 menyatakan :
The Independence of the judiciary shall be guaranteed by the state and enshirined in the constitusion or the law of country. It is the duty of all govermental and other institusions to respect and observe the independence of  the judiciary

 Independensi peradilan harus dijamin oleh Negara dan diabadikan dalam  Konstitusi atau hukum negara.  Ini adalah tugas dari semua pemerintah dan lainnya  lembaga untuk menghormati dan mengamati independensi peradilan. Pengaturan kejaksaan dalam undang-undang dasar (constitution) suatu negara bukanlah merupakan hal yang baru, karena ternyata di dunia ini terdapat hampir 90 (sembilan puluh) negara yang mengatur lembaga Kejaksaan dan/atau Jaksa Agungnya dalam undang-undang dasar.[28]
Pada hakekatnya dalam prinsip negara hukum keberadaan kekuasaan yudisial merupakan kekuasaan yang bertujuan untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar tetap berjalan pada kerangka hukum. Keberadaan kekuasaan yudusial  yang independen merupakan jaminan bagi tegaknya supremasi hukum. Independensi lembaga penegak hukum akan menghindari terjadinya penyimpangan fungsi lembaga penegak hukum dan keadilan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan oleh sebuah rezim tertentu.
Melihat hal tersebut maka peran strategis lembaga penegak hukum dalam sistem ketatanegaraan dan mewujudkan prinsip negara hukum merupakan sesuatu yang  krusial. Maka dari itu keberadaan lembaga negara  yang melaksanakan kekuasaan yudisial termasuk kategori sebagai organ negara utama (auxilary organ). Sebagai organ negara utama maka sumber atribusi kewenangan lembaga yudisial sepatutnya harus diatur secara jelas di dalam konstitusi.
Atribusi kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung  dan Badan Pemeriksa Keuangan di atur secara eksplisit dalam UUD 1945. Atribusi langsung dari konstitusi meletakkan keberadaan MA dan BPK sejajar dengan lembaga eksekutif dan legislatif. Sehingga fungsi pengawasan yang dimiliki oleh MA dan BPK menjadi seimbang dalam  prinsip pendistribusian kekuasaan yang diterapkan di negara Indonesia.  Keadaan  inilah yang menciptakan check and balances antar lembaga negara. Sebagai lembaga yang sama-sama lahir dan mendapat atribusi kewenangan dari konstitusi maka secara hierarki  keberadaan MA dan BPK tidak berada lebih rendah dari Presiden (Eksekutif) dan DPR (Legislatif).
Dilain pihak Pasal 2 UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang kejaksaan menyatakan bahwa kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Kekuasaan Pemerintahan dalam UUD 1945 diartikan sebagai kekuasaan pemerintah dalam arti yang sempit yaitu sebagai kekuasaan Presiden.[29]  Ketidak pastian konstitusional dan kebingunan pengaturan dalam UU Nomor 16 Tahun 2009 mengakibatkan tidak jelasnya kedudukan kejaksaan sebagai yudikatif yaitu yaitu badan yang terjait dengan kekuuasaan kehaiman atau sebagai kekuasaan pemerintahan yang berada sebagai sub ordinat dari kekuasaan presiden. Ketidak pastian ini menimbulkan kemerdekaan yang secara filosofis diatemukan dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 tidak dapat sebagai mana mestinya.

2.      Pengangkatan dan Pemberhentian Jaksa Agung
Dalam indikator yang terdapat dalam JRI peroses pemilihan dan pengangkatan pimpinan lembaga yudisial merupakan indikator penting untuk menciptakan independensi. Proses pengangkatan dan pemeberhentian tersebut masuk dalam indikator selection and appointment process. Di dalam International Bar Association Of Judicial Indepedence dalam bab Judges and Executive pada pasal 5 point tegas dinyatakan sebagai berikut :
The Executive shall not have control over judicial functions
Eksekutif tidak boleh memiliki kontrol terhadap fungsi peradilan diakui sebagai sebuah prinsip hukum internasional. Intervensi eksekutif akan berimplikasi terhadap kebebasan fungsi lembaga peradilan dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Di dalam  Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesiapengaturan keberadaan  Jaksa Agung. Dalam pasal 19 dinyatakan bahwa :
1)        Jaksa Agung adalah pejabat negara. 
2)        Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.[30] 

Dengan kedudukan Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, maka Jaksa Agung menjadi tidaklah Independen. Secara Politik maka Jaksa Agung adalah menteri. Dalam sistem presidensial menteri adalah pembantu presiden dan bertanggung jawab penuh terhadap Presiden. Presiden maka sewaktu-waktu dengan kekuasaan yang dimiliikinya dapat menegendalikan kekuasaan penuntutan pidana. Bukan hanya Jaksa Agung bahkan seluruh Jaksa yang ada di Indonesia. Mengingat jaksa adalah satu dan tidak terpisahkan dan jaksa melakukan penuntutan serta bertanggung jawab melalui saluran hierarki kepada Jaksa Agung.
Banyak fakta-fakta yang menunjukkan dalam penanganan sebuah kasus kejaksaan asangat rentan di intervensi oleh kekuasaan eksekutif. Salah satu yang menyita perhatian, adalah tersiarnya transkrip rekaman percakapan Presiden B.J Habibie kepada Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib. Dalam percakapan tersebut Presiden terlihat mengatur upaya peneylidikan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto. Ketika itu terlihat bahwa pemeriksaan oleh kejaksaan terhadap mantan Presiden Soeharto hanyalah formalitas belaka dan tidak ada niat untuk meningkatkan pemeriksaan ke tingkat penyidikan.[31]
 Kelemahan ketiga adalah mengenai pemberhentian Jaksa Agung. Dalam Pasal 22 ayat (1) dinyatakan :
Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatnnya karena: 
1)      meninggal dunia; 
2)      permintaan sendiri; 
3)      sakit jasmani atau rohani terus-menerus; 
4)      berakhir masa jabatannya; 
5)      tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21[32]

Dalam point d dinyatakan bahwa Jaksa Agung berhenti apabila masa jabatannya berakhir. Namun dalam penjelasan pasal tersebut tidak ada penjelasan yang rinci tentang periode masa jabatan Jaksa Agung. Keadaan ini berpotensi menghilangkan independensi kekuasaan penuntutan. Jaksa Agung dapat diberhentikan kapan pun tergantung pada keinginan Presiden.
Dominasi tunggal Presiden dalam menentukan jabatan Jaksa Agung amat berbeda dalam proses penentuan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang notabene merupakan lembaga yudisial. Penentuan anggota dari ketiga lembaga negara tersebut tidak hanya didominasi oleh satu lembaga saja. Melainkan melibatkan Presiden dan DPR. Bahkan khusus untuk jabatan hakim agung pada Mahkamah Agung proses penyeleksian jabatannya melibatkan lembaga Komisi Yudisial. Demikian juga halnya dalam menentukan pimpinan lembaga. Ketua MA dipilih langsung oleh para hakim agung demikian juga dengan BPK. Sedangkan ketua KPK ditentukan oleh suara terbanyak dalam proses pemilihan anggota di DPR.  
 Proses pengangkatan Jaksa Agung yang hanya melibatkan Presiden sesungguhnya mengurangi makna penting Jaksa sebagai pihak yang mewakili kepentingan umum dalam penegakan hukum. Sebagai pejabata hukum yang mewakili kepentingan umum Jaksa Agung digambarkan oleh Tjeerd Sleeswijk Visser sebagai sosok yang memiliki kepribadian yang jujur, tidak memiliki kepentingan politis, memiliki stardar moral dan etika yang tinggi. Jaksa agung juga sebagai sosok yang dihargai oleh masyarakat dan bertindak atas nama masyarakat. Apa yang digambarkan oleh Tjeerd Sleeswijk Visser membuktikan bahwa jabatan tersebut memiliki arti yang sangat penting bagi penegakan hukum.[33]
Menurut Suhadibroto, pentingnya peran Jaksa Agung tersebut mengakibatkan Jaksa Agung harus independen dan profesional. Pentingnya hal ini bahkan telah menjadi pemikiran yang serius oleh masyarakat internasional. Pada pertemuan para Jaksa Agung di Seoul Korea Selatan pada bulan September 1990 yang dihadiri 25 negara se Asia Pasific, menghasilkan kriteria seorang Jaksa Agung yang independen dan profesional, yakni bahwa Jaksa Agung adalah:[34]
1)      Attoney general is man of Law
2)      Independent attorney general generates economic prosperity, promotion of welfare, political stability and development of democracy.
3)      The Attorney General is the chief of legal officer;
4)      The Attorney General is not subjects to the direction or control of any other person or authority. He is essentially a man of law.

Kriteria tersebut di atas memposisikan Jaksa Agung secara independen dan tidak dibawah kontrol institusi atau otoritas apapun. Dalam hal ini, Jaksa Agung bahkan juga disebut sebagai “a man of law” atau dengan kata lain Jaksa Agung adalah abdi hukum yang sebenarnya.[35]
Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 19 ayat (20) jo Pasal 22 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dapat disimpulkan bahwa Jaksa Agung tidak Independen. Hal ini disebabakan presiden diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Posisi Jaksa Agung seperti itu dapat menimbulkan dua masalah yang dalam litterateur disebut dengan “dual obligation” dan “conflicting loyalties” . Dalam ilmu Pemerintahan, Jaksa Agung sebagai bawahan Presiden harus mampu melakukan 3 (tiga) hal yakni:[36]
1)      Menjabarkan instruksi, petunjuk dan beberapa kebijakan lainnya dari Presiden.
2)      Melasanakan intruksi, petunjuk dan berbagai kebijakan Presiden yang telah dijabarkan tersebut.
3)      Mengamankan intruksi, petunjuk daan berbagai kebijakan Presiden yang sementara telah dilasanakan.

Keadaan tersebut mengakibatkan selalu timbul kontroversi dalam setiap pergantian Jaksa Agung. Pada masa orde lama Jaksa Agung Soeprapto yang ketika itu diganti oleh Presiden Soekarno karena berani menyelidiki kasus korupsi yang melibatkan Menteri Luar Negeri.[37]
Demikian juga dengan penerus Soeprapto, yaitu Jaksa Agung  Gatot Tarunamihardja. Gatot merupakan Jaksa Agung pertama pada masa demokrasi terpimpin. Walaupun kedudukan nya sebagai menteri Gatot  tetap berupaya untuk Indepnenden.  Ketika beberapa oknum tentara melakukan praktek penyelundupan melalui pelabuhan Tanjung Priok – yang kemudian dikenal (pada masa itu sebagai Peristiwa Tanjung Priok), Gatot Tarunamihardja tampil mengusutnya. Jendral Nasution memerintahkan penangkapan dan penahanan sang Jaksa Agung yang sedang menjalankan tugasnya. Soekarno menengahi. Gatot dibebaskan tapi dia juga dipecat.[38]
Kontroversi tersebut terus berlanjut hingga orde reformasi. Pergantian Jaksa Agung Soedjono.C.Atmonegoro, juga bernuansa politis karena keberaniannya menyelidiki kasus korupsi mantan Presiden Soeharto.[39] Demikian juga Jaksa Agung Marsilam Simanjuntak yang bahkan hanya menjabat dalam hitunagan minggu untuk kemudian diganti oleh M.A Rachman.[40] Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh juga diganti dengan latar belakang politis. Pergantian terjadi dikarenakan adanya permintaan dari DPR kepada Presiden dilatarbelakangi hubungan yang tidak harmonis antara Jaksa Agung dengan komisi III DPR.[41]


3.      Reposisi Kedudukan Kekuasaan Penuntutan Sebagai Upaya Mewujudkan Independensi  Kejaksaan Dalam Sistem Ketatanegaraan

Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen menegaskan, bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Selanjutnya dalam penjelasan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan keuasaan merdeka, terlepasa dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
Dari perumusan diatas terlihat, bahwa UUD 1945 pada awalnya tidak memberikan batasan pengertian apa yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman, Pasal 24 UUD 45 hanya menegaskan badan mana yang diserahi tugas/kewenagan untuk melakukan atau melaksanakan kekuasaan kehakiman. Demikian pula penjelasan pasal 24 tidak memberikan batasan pengertian mengenai kekuasaan kehakiman, tetapi hanya  menegaskan sifat, kedudukan, eksistensi dari kekuasaan kehakiman, yaitu sebagai kekuasaan yang merdeka dan mandiri.
Jadi UUD 45 (asli) pada mulanya tidak memberi batasan pengertian kekuasaan kehakiman. Batasan pengertian kekuasaan kehakiman baru ada setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok Pokok Kekuasan kehakiman yang sat ini telah mengalami perubahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, dan terakhir diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.
Dalam Pasal 1 UU No 14/1970 jo UU No 35/1999 itu ditegaskan bahwa :
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negera yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negera Hukum Republik Indonesia [42]

Selanjutnya pada pasal 2 ditegaskan, bahwa :
Penyelenggara kekuasaan kehakiman tercantum dalam pasal 1 diserahkan pada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili, serta meyelesaikan setiap perkara yang diselesaikan kepadanya [43]

Perumusan tersebut kemudian masuk ke dalam perubahan Pasal 24 UUD 1945 amandemen ke-3 (9 November 2001) yang menegaskan sebagai berikut :
1)      Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
2)      Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berda dibawahnya dalam lingkup peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkup peradilan militer, lingkup peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi

Memperhatikan redaksi perumusan diatas dapat disimpulkan bahwa UU kekuasaan kehakiman UU No14/1970 Juncto UU No 35/1999 dan UU No4/2004 dan UUD 45 (amandemen) lebih menekankan dan menonjolkan pengertian kekuasaan kehakiman dalam arti sempit. Hal  ini terlihat dari redaksi di atas yang lebih mengedepankan pengertian kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan negera yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan. Jadi kekuasaan kehakiman diidentikkan dengan kekuasaan peradilan atau kekuasaan mengadili. Dengan demikian UU kekuasaan kehakman dan UUD 1945 (amandemen) hanya membatasai kekusaan kehakiman dalam arti sempit, yaitu kekuasaan menegakkan hukum dan keadilan di badan-badan peradilan.
Pembatasan pengertian kekuasaan kehakiman dalam arti sempit menurut Barda Nawawi Arief sepatutnya dikaji ulang karena pada hakekatnya kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara dalam menegakkan hukum.[44] Jadi kekuasaan kehakiman identik dengan kekuasaan untuk menegakkan hukum atau kekuasaan penegakan hukum. Hakikat pengertian yang demikian sebenarnya  terungkap juga dalam perumusan Pasal 1 UU No 14/1970 Juncto UU No 35/1999 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu pada kalimat yang terakhir berbunyi : Guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Hanya sayangnya kalimat itu tidak dirumuskan sebagai hakikat pengertian kekuasaan kehakiman, tetapi sebaliknya di rumuskan sebagai tujuan dari diselenggarakannya peradilan.[45] Menurut Barda Nawawi Arief tujuan itulah yang sebenarnya  hakekat dari kekuasaan kehakiman. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa kekuasaan kehakiman ebagai kekuasaan untuk menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. [46]
Dengan pengertian kekuasan kehakiman yang luas seperti yang dikemukakan diatas maka kekuasaan kehakiman dapat diartikan bukan hanya kekuasan mengadili, tapi dapat diartikan sebagai kekuasaan menegakkan hukum dalam suatu proses penegakan hukum. Dalam perspektif sistem peradilan pidana terpadu (SPP) kekuasaan kehakiman dibidang hukum pidana mencakup seluruh kewenangan dalam menegakkan hukum pidana, yaitu kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili dan kekusaan pelaksanaan putusan/pidana.
Kejaksaan Republik Indonesia merupakan lembaga yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang  penuntutan pidana.  Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan pada hakekatnya kejaksaan merupakan bagian integral kekuasaan kehakiman. Kejaksaan sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumya memegang peranan penting dalam penegakan hukum pidana. Kejaksaan memainkan peranan dalam setiap tahapan dalam sistem peradilan pidana.
Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman  maka independensi kejaksaan harus pula terwujud dalam perannya melaksanakan kekuasaan penuntutan pidana. Independensi yudisial harus diperluas tidak hanya pada kekuasaan peradilan. Kekuasaan kehakiman yang independen tidak akan ada artinya apabila hanya ada pada salah satu subsistem  yaitu kekuasaan mengadili.

Permasalahan sistem penuntutan dalam kekuasaan negara, juga menjadi pembahasan yang serius di negara-negara eropa yang diwujudkan dengan mengadakan beberapa pertemuan internasional antara lain pertemuan “The Eropean Status of Justice” yang diselenggarakan pada buan Januari 1993 dan “The Paneuropean Conference” yang diselenggarakan di Vienna pada bulan Mei 1999. Pada pertemuan “The Eropean Status of Justice”  yang telah menjadi inspirasi diskusi-diskusi selanjutnya tentang sistem penuntutan di dalam struktur kekuasaan negara, pada salah satu pasal resolusinya menyatakan bahwa kemampuan untuk memutuskan secara mandiri dalam lembaga penuntutan merupakan instrumen penting dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri. Mereka harus melepasakan tugas-tugas mereka dari kekuasaan lainnya, selain itu harus adanya jaminan hak dan kewajiban Jaksa secara hukum didalam melakukan proses penuntutan. Hal ini sebagaima diatur dalam Section 9.1 dan Section 9.2, yakni:
1)      section 9.1. the following: Self-government in prosecution creates an essential instrument of judicial power independence. Judges (public officers) in prosecution secure equality of citizens before the law. They discharge their functions independently on political power. They are subordinated to law only.
2)      section 9.2. Judges (prosecutors) who discharge their functions in prosecution shall have identical rights and identical guarantees as stated in the Status hereof.[47]

Selain itu berdasarkan beberapa pertemuan terdapat hal yang penting, yakni keberadaan sistem penuntutan dalam menjalankan perannya di suatu negara agar dapat berjalan dengan baik, harus disesuaikan dengan budaya dan sejarah dari masing-masing negara.[48]Kedudukan Kejaksaan sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif dipengaruhi oleh faktor politis dan budaya sejarah masa lalu. Dalam lintasan sejarah ketatanegaraan Indonesia keberadaan kejaksaan sebagai bagian dari eksekutif dipengaruhi sejarah penegakan hukum Indonesia yang selalu mendapat intevensi dari penguasa. Sejak zaman sebelum kewenagan jaksa sebagai pejabat penegak hukum disadari memiliki peran yang startegis dalam sistem penegakan hukum pidana. Peran jaksa selalu diupayakan agar dapat di politisasi untuk kepentingan politik tertentu. Masa lalu Kejaksaan sebagai lembaga eksekutif terbukti membawa sejarah penegakan hukum di Indonesia menjadi penegakan yang penuh dengan kepentingan penguasa. Seperti yang tulis sampaikan dalam bab terdahulu begitu banyak fakta seputar upaya intervensi penguasa dalam penegakan hukum yang dilakukan jaksa.
Dalam perspektif budaya, meletakkan Jaksa Agung sebagai anggota kabinet ataupun pejabat setingkat menteri juga amat mempengaruhi independensi lembaga Kejaksaan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Denny Indrayana,[49]  penjajahan yang dialami bangsa Indonesia berabad-abad lamanya menciptakan budaya masyarakat Indonesia yang sangat ewuh-pakewuh terhadap pimpinan. Karakter feodalistik tersebut juga dialami oleh aparat penegak hukum semisal Kepolisian dan Kejaksaan yang secara struktural merupakan pembantu presiden dalam kabinet. Sehingga meletakkan Kejaksaan dan Kepolisian sebagai bagian dari eksekutif menimbulkan kemacetan dalam penegakan hukum di Indonesia.
Kejaksaan harus direposisi dari kedudukannya sebagai lembaga eksekutif. Selain itu, Andi Hamzah juga menyarankan agar undang-undang mengenai Kejaksaan yang menempatkan Kejaksaan sebagai alat pemerintah harus diganti dengan undang-undang baru. Kejaksaan harus menjadi bagian Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman yang independen tidak dicampuri oleh kekuasaan eksekutif.[50] Hal ini berarti Andi Hamzah berpendapat bahwa kejaksaan harus berada dalam lingkup kekuasaan kehakiman bukan dalam kekuasaan pemerintah.[51]
Sedangkan Harkristuti Harkrisnowo mengatakan bahwa kejaksaan harus independen, Harkristuti tidak menyinggung tentang independensi Jaksa Agung. Menurut pendapatnya Kejaksaan sebagai alat penegak hukum harus dirumuskan kembali dengan tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan undang-undang organiknya demi independensi Kejaksaan.[52]
Menyadari bahwa kekuasaan penuntutan merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman maka pengertian kekuasaan kehakiman yang dijabarkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 amandemen menjadi amat perlu untuk ditinjau kembali. Kekuasaan kehakimaan dalam bidang penegakan hukum pidana pada kenyataannya berada pada sebuah sistem penegakan hukum pidana yang terpadu. Keterpaduan tersebut saling memberikan pengaruh dan kontrol satu sama lain terhadap lembaga yang berada dalam sistem penegakan hukum pidana. Maka dari itu perlu untuk meletakkan kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan dalam bab Kekuasaan Kehakiman di dalam Undang-Undang dasar 1945 apabila dikemudian hari akan diadakan amandemen kelima.


C. Kesimpulan
1.    Dengan kedudukan Kejakasaan sekarang maka sulit untuk menjaga independensinya karena dari aspek konstittusional, pengwasan dan pengangkatan Jakasa Agung, Kejakasaan tidak akan dapat melakukan kegiatannya secara independen atau merdeka.
2.    Untuk mewujudkan kekuasaan penuntutan yang independen maka perlu untuk melakukan reposisi kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia Kejaksaan harus disadari merupakan bagian integral dari kekuasaan kehakiman. Independensi kekuasaan kehakiman akan sangat dipengaruhi oleh independennya lembaga-lemabaga lain yang terlibat dalam sistem peradilan pidana terpadu. Kejaksaan harus dikeluarkan dalam struktur kekuasaan eksekutif. Kejaksaan hendaknya direposisi sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman. Selain itu juga sebagai lembaga pelaksana kekuasaan yudisial penting untuk mengatur kedudukan Kejaksaan secara eksplisit dalam UUD 1945. 



DAFTAR PUSTAKA :
Andi Hamzah, 1994, Azas- Azas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta
-------------------- 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika
Azhari,1995, Negara hukum Indonesia, analisis yuridis normatif tentang unsur – unsurnya, Jakarta, UI Pers

Hans Kelsen, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, Jakarta, Bee Media

Jeremy Pope, 2003, Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional, Jakarta, Yayasan Obor bekerjasama dengan Transperancy International Indonesia

Jimly Asshidiqie, 2008, Pokok – Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta,PT. Bhuana Ilmu Populer

----------------------, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Kejaksaan Agung RI,1985, Lima Windu Sejarah Kejaksaan RI (1945-1985), Jakarta

L.M Fiedman, 1975, The Legal System : A Social Science Persepctive, New York, Russel Sage Foundation,

Marwan Effendy, 2005, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum, Jakarta, PT Gramedia

Moh Kusnardi dan Hamaili Ibrahim, 1988, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara UI,

Moeljatno, 2002, Azas – Azas Hukum Pidana, Jakarta, PT Rineka Cipta

Moh. Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia,  Yogyakarta, Gama Media

M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan ,Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika

Notohamidjojo,1970, Makna Negara Hukum, Jakarta, Badan Penerbit Kristen

Yudi Kristiana,2006, Independensi Kejakasaan Dalam Penyidikan Korupsi, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.

-----------------,Disertasi Program Doktoral Universitas Diponegoro, Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan Dengan Pendekatan Hukum Progresif.

MAKALAH DAN ARTIKEL
Beneč Štefan, “Independence of Prosecution” (makalah disampaikan dalam Seminar “The prosecutor’s office in a democratic and constitutional state” organized by The General Prosecutor’s Office and the Slovak National Supporting Committee of Europe 2000, 25 April 2003 – 27 April 2003

Barda Nawawi Arief, Pokok-Pokok Pikiran Kekuasaan Kehakiman yang merdeka, Bahan masukan untuk laporan akhir tim pakar Depertemen Kehakiman, Periode 1998/1999.




[1] Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik (Pinsip-prinsip moral dasar kenegaran modern), Cet. 7.Jakarta: PT Gramedia, hlm. 295.
[2]  Ibid.
[3]  Franz Magnis Suseno, Op. Cit., hlm. 301
[4] M. Elizabeth Magill, Beyond Powers and Branches in Separation of Powers Law, University of Pennsyl Law Review 2001, Working Paper No. 01-10, hlm. 1
[5] Beneč Štefan, “Independence of Prosecution” (makalah disampaikan dalam Seminar “The prosecutor’s office in a democratic and constitutional state” organized by The General Prosecutor’s Office and the Slovak National Supporting Committee of Europe 2000, 25 April 2003 – 27 April 2003), hlm. 14.
[6] Marwan Effendy, 2005, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum, Gramedia, Jakarta, hlm 56
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Jeremy Pope, 2003, Strategi Memberantas Korupsi, Kerjasama Yayasan obor dan Transparansi Internasional Indonesia hlm 137 sebagaimana dikutip dalam Jhon.L Edward ,1964, Law Officers of The Crown, Sweet and Maxel, London
[10]  Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang  Kejaksaan Republik Indonesia pasal 2 (ayat 3)
[11]   Andi Hamzah, Op Cit hlm 72
[12]  Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 30
[13] Dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Hak Azazi Manusia dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jaksa berperan juga sebagai penyidik.

[15] Andi Hamzah,2003, Makalah : Kemandirian dan Kemerdekaaan kekuasaan Kehakiman,Diaksespadasitushttp://www.lfip.org/english/pdf/baliseminar/Kemandirian%20Hakim, pada tanggal 25 April 2009
[16] Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hlm 23
[17] Aidul Fitricida,2008, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dan Bertanggung Jawab, Jurnal Konstitusi UNS, hlm 25
[18] Hamilton, Alexander, 2005, The Federalist No. 78, Tersedia: http://www. constitution.org/ fed/federal hlm 78.htm.
[19]  Ibid
[20] Lubet, Steven, 1998, “Judicial Dicipline and Judicial Independence,”Law and Contemporary Problems, Vol. 61, No. 3, Summer 1998. Hlm 61
[21] John Farejhon Dynamic of Judicial Independence: Independence Judges, Dependent Judiciary, www. www.icclr.law.ubc.ca
[22]  The Universal Declaration of Human Rights, 1948. Article 14
[23] Basic Principle On The Independence Of The Judiciary, Seventh United Nations Congress on the Prevention of Crime and The Treatment of Offenders, Milan 26 Agustus s/d 6 September 1985.
[24] Kelly, F.B. William, 2005, An Independent Judiciary: The Core of theRule of Law, Tersedia : www.icclr.law.ubc.ca/Publications/Reports/An_Independant_ Judiciary.pdf (Dikutip 5 Nopember2005)
[25] See, Harold, 1998, “Comment: Judicial Selection and DecisionalIndependence,” Law and Contemporary Problems, Vol. 61, No.3, Summer 1998.hlm 141-142
[26]  John Farejohn, Op Cit
[27] Warren, Roger K., 2005, The Importance of Judicial Independenceand Accountability, Tresedia: http://www.ncsconline.org/WC/Publications/KIS_JudIndSpeech Script.pdf (Dikutip 7 November 2009).
[28] Negara-negara yang mengatur Kejaksaan dan/atau Jaksa Agungnya dalam konstitusi negara, yaitu: Afganistan, Angola, Argentina, Albania, Andorra, Armenia, Barbadosa, Belize, Brazil, Bulgaria, Canada, Cambodia, Cape verde, Croatia, Dominica, Fiji, Finlandia, Gambia, Guyana, Georgia, Greece, Guinea Biss, Haiti, Hunggary, Ireland, Israel, Iran, Kazakhstan, Korea Selatan, Korea Utara, Kyrgystan, Kiribati, Laos, Lebanon, Liberia, Lithuania, Malawi, Malaysia, Malta, Myanmar, Macedonia, Madagascar, Mesir, Mangolia, Marocco, Mozambia, Nauru, Oman, Papua New Guenea, Philipines, Polandia, Portugal, Republic of Moldova, Pakistan, Paraguay, Romania, Rusia, St. Kitts and Nevis, St. Lucia, St Vincent, Sierrra Leone, Solomon Islands, Seycheles, Saudi Arabia, Slovakia, Somalia, Sout Africa, Spanyol, Suriname, Swedia, Syiria, Tuvalu, Trinidad and Tobago, Thailand, Timor Laste, Turki, Vanuatu, Venezuela, Yamen, Yugoslavia, Artikel :Memaknai Eksternalisasi Kekuasaan Penuntutan di Indonesia, unduh dari www.ilham 69 blogspot diunduh pada hari Minngu 20 Maret 2010
[29]Lihat BAB IV UUD 1945
[30]  Ibid  Pasal 19
[31] Artikel : Bukti Habibie Tak Serius Periksa Soeharto, Wakil Panji Masyarakat di Periksa Polisi diunduh dari http://iwan-uni.blogspot.com/2005/07/bukti-habibie-tak-serius-periksa.html pada hari Sabtu tanggal 18 Maret 2010
[32]  Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
[33] Tjeerd Sleeswijk Visser, The General Prosecutor and Responsiblilitiea, makalah disampaikan pada seminar “The Prosecutor`s office in a democratic and constitusional state” di unduh dari situs dikutip dari Marwan Effendy Op Cit hlm 43
[34] Ibid
[35] Ibid
[36] Marwan Effendy, Loc Cit hlm 125
[37] Daniel S.Lev, 1990, Politik Pengembangan Kekuasaan Kehakiman, dalam Daniel.S Lev, 1990, Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES, Jakarta,  hlm 59
[38] Ibid hlm 60
[39] Marwan Effendy Loc Cit hlm 73
[40] Ibid
[41] Abdul Rahman Saleh, 2008, Bukan Kampung Maling Bukan Desa Ustadz Memoar 930 Hari di Puncak Gedung Bundar, KompasGramedia, Jakarta,  hlm 426
[42] Pasal Undang-Undang Nomor 14 Juncto Undang-Undang Nomro 35 Tahun 1999 tentang Kekusaan Kehakiman
[43] Ibid Pasal 2
[44] Barda Nawawi Arief,2008,Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penggulangan Kejahatan, Prenanda Media Grup, Jakarta, hlm 33
[45]   Ibid
[46]   Ibid hlm 35
[47] Benec Stevan, Op Cit
[48]   Ibid
[49] Artikel : Mengapa Elite Sulit di Sentuh Hukum di unduh dari situs : http://www.inilah.com/berita_print.php?id=47 pada hari Minggu tanggal 20 Maret 2010
[50] Andi Hamzah, “Posisi Kejaksaan dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, (makalah diajukan pada seminar menyambut hari bakti adiyaksa, Jakarta 20 Juli 2000), hal. 5-6.
[51] Ibid
[52] Harkristuti Harkrisnowo, “Kejaksaan Agung dalam Tatanan Kelembagaan: Beberapa catatan Awal”, (makalah disampaikan pada Seminar Hukum dalam Konteks Perubahan ke Dua UUD 1945 yang deselenggarakan oleh MPR dan Fakulktas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta 24-26 Maret 2000), hal. 7.

Komentar

  1. Mohon maaf, untuk tulisan anda pada alinea 1 s.d. 3, menurut pengamatan saya, anda tidak menuliskan sumber kutipannya secara utuh. Sepengetahuan saya, bagian tulisan tersebut diambil (tanpa menyebutkan sumbernya secara utuh) dari tulisan saya dan rekan saya yang berjudul "MEMAKNAI INDEPENDENSI KEKUASAAN PENUNTUTAN DI INDONESIA". Tulisan saya tersebut sudah dimuat pula di dalam Jurnal Hukum Themis (Fakultas Hukum Universitas Pancasila) jauh sebelum anda mempublikasikan tulisan anda ini.

    Salam hormat,
    Endra Wijaya.

    BalasHapus
  2. Casino Near Me | MapyRO
    Search for Casino Near Me 통영 출장마사지 in Muhle, MS. Get reviews, 대구광역 출장샵 ratings, 충주 출장마사지 restaurants, amenities, directions, and 대전광역 출장마사지 reviews of Casino Near Me, ranked 김포 출장마사지 by

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer