PEMILU YANG DEMOKRATIS?

Dipublikasikan Pada
Jurnal Konstitusi Edisi Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum
Univeristas Bengkulu
Volume II Nomor 1 Juni 2009
Halaman 60-74

PEMILU YANG DEMOKRATIS?

Oleh
Ardilafiza,S.H.M.Hum[1]

Abstract
The legislative election organized this 2009 left several negative notes to the implementation of general election in Indonesia. The fraudulenses, coming from many aspects, such as the list of  permanent elector, the invisible campaign commitee, the money politic, and the involvement of committee election in manipulating the votes, will not be substantialy solved by Supreme Constitution Court. The question then would be: have the implemented general elections been democratic? General election is a manifastation of souvereignty of people, known as democratic state. The performance of democratic and general election can’t be measured by quantity of elector, but the quality of the electors (voters). Thus, the phases in determining the electors selectively become necessary to organize a good quality elector.
Key word (kata-kata kunci): General election, democracy, elector (Pemilihan umum, demokrasi, pemilih).

A.    Latar belakang
Dari beberapa tulisan seperti Moh.Mahfuz[2], Ikrar Nusa Bhakti[3] dan banyak lagi penulis lainnya yang memberikan gambaran ketidakpuasan pelaksanaan pemilihan umum tahun 2009 ini. Mahhfud dan Ikrar secara terang-terangan mengatakan demokrasi adalah pilihan terpaksa dan bukan yang terbaik.  Kondisi demikian muncul sebagai akibat beberapa pelaksanaan pemilu tidak dapat menghasilkan lembaga perwakilan yang baik.  Pemilu hanya dianggap sebagai alat legitimasi formal dari para politisi dan merupakan sandiwara politik, jual beli suara (money politic), atau juga sebagai arena untuk mengajarkan atau mendidik masyarakat cara berbohong dan menipu.  Semua perilaku di atas jelas dilarang pada semua aturan pemilu yang pernah ada. Tetapi realita dalam setiap pelaksanaan pemilu, semua kejadian di atas tidak mempunyai akibat hukum.  Memang terbiasa dalam praktek di Indonesia, bahwa asas yang begitu baik tidak diikuti oleh pengaturan lanjutan dalam mekanisme dan proses pelaksanaan yang dapat dipastikan tidak mungkin dapat terlaksana sesuai dengan asas yang  telah disepakati. Asas tinggal asas sedangkan pengaturan tentang pasal-pasal pelaksanaan walaupun berada dalam satu undang-undang tetapi seolah-olah berada pada tempat terpisah.
Pelaksanaan pemilu legislatif yang baru saja berakhir adalah pesta demokrasi yang penuh dengan cacatan kurang baik. Di Propinsi Bengkulu saja, cacatan kecurangan pemilu tidak hanya dalam persoalan Daftar Pemilih Tetap, tetapi juga pada tahap kampanye dengan tim kampanye siluman, money politik  dan politik dagang sapi diantara para caleg.  Kejadian tersebut salah satunya juga berpokok pangkal pada pelaksana pemilu Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu/Panwaslu yang tidak independen.  KPU ikut bermain membantu beberapa caleg yang telah diproyeksikan dan diperjanjikan antara anggota KPU dengan orang yang ikut membantu dia duduk sebagai anggota. Di Kabupaten Kaur hasil pleno yang juga diplenokan ditingkat propinsi 20.000 suara seorang calon dengan gampangnya pindah ke calon lain, dan untungnya masalah tersebut dapat diselesaikan pada KPU Pusat. Itu adalah sebagian kecurangan yang dapat diungkap, dan masih banyak kecurangan yang tidak dapat diungkap.   Semua hal tersebut oleh KPU dibiarkan dan diberikan peluang dan kepercayaan pada Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan sengketa yang dapat memberikan keadilan.
Kalau dilihhat dari Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008  tentang Pemilihan Umum angota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Peerwakilan Rakyat Daerah dikenal adanya tiga  jenis pelanggaran pemilu, yaitu pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana pemilu dan sengketa hasil pemilu.  Pelanggaran Adminstrasi berupa persyaratan adminstrasi (Pasal 63) akan diselesaikan oleh KPU/D dan Bawaslu/ Panwaslu dan jika ada unsur pemalsuan akan dilaporkan pada kepolisian. Pelanggaran Pidana berupa money politik (Pasal 286), kekerasan dalam Pemilu (Pasal 287) akan disesaikan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dengan memberikan batas waktu pengaduan dan putusan yang diambil 5 hari sebelum penetapan hasil pemilu (Pasal 257). Dengan pembatasan yang ada mungkin keadilan subtantif dapat dibuat oleh pengadilan mengingat komplesitas pembuktian dalam pidana pemilu lebih rumit dari pidana biasa  lainnya.   Semua pelanggaran Pidana Pemilu dan Pelanggaran Administrasi membawa akibat pada keabsahan jumlah suara dalam pemilu, sehingga penyelesai sengketa hasil pemilu yang terpisah dari persolan pidana dan adminstrasi tidak mampu melahirkan putusan yang mendatangkan keadilan substantif.
Terobosan hukum yang dilakukan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya mengenai sengketa hasil Pemilu Kepala Daerah Jawa Timur dan Bengkulu Selatan, adalah mustahil untuk diulangi oleh  Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa pemilu 2009 ini. Mahkamah Konstitusi tidak akan mungkin konsisten melakukan putusan yang akan menimbulkan dampak secara nasional, mengingat seluruh pemilu legislatif secara substantif melanggar konstitusi yaitu pasal 22E Ayat (1) bahwa Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pasal  tersebut juga dijadikan sebagai pertimbangan dan mengambil putusan dalam perkara pemilu Kepala Daerah di atas.   Dan juga Mahkamah Konstitusi tidak akan berani mengambil putusan dengan menggabungkan kewenangan Mahkamah Konstitusi yaitu penyelesaian sengketa hasil pemilu dan pembubaran partai politik secara sekaligus sehingga penyelesaian sengketa dapat dituntaskan secara substantif.[4]
Banyaknya pelanggaran dalam pemilu dan kelemahan struktural dalam penyesaian sengketa pemilu secara komprehensif dan substantif tidak mungkin dapat dilakukan, sebagaimana yang telah dicitakan-citakan dalam asasnya yaitu jujur dan adil, maka tulisan ini diharapkan dapat menjawab apakah pemilu yang kita laksanakan selama ini sudah demokratis?  Dan sekaligus mengemukakan ide pelaksanaan pemilu yang demokratis ditengah-tengah pendidikan politik masyarakat yang masih sangat kurang.
B.       Pembahasan
1.        Demokrasi
Demokrasi pertama-tama gagasan yang mengandaikan bahwa kekuasaan itu adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam pengertian yang partisipatifdemokrasi bahkan disebut sebagai kekuasaan dari, oleh dan bersama rakyat. Dan oleh karena itu rakyatlah yang menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan sesungguhnya kehidupan kenegaraan[5]. Hal itu tetnut tidak mungkin dapat dilaksanakan karena menginngat jumlah penduduk, luas wilayah dan kompleksitas permasalah pada negara sekarang ini adalah tidak mungkin semua rakyat akan ikut memerintah. Oleh karena itu demikrasi hanyalah dunia idee  dan bukan dunia nyata sebagaimana diajarkan Plato[6], karena terjadi perbedaan yang cukup dalam antara das Sein dan Solllen. Hal itu dibuktikan  setiap negara modern sekarang ini menyatakan negaranya adalah negara demokrasi, tetapi kenyataannya terdapat perbedaan partisipasi rakyat dalam setan negara yangmenamakan dirinya demokrasi tersebut.  
Plato lebih dari 2500 tahun yang lalu mengatakan bahwa jika negara mau sempurna maka penguasa adalah para ahli pikir[7], karena dengan para ahli pikir/ahli filasatlah yang mengerti dan tentang ide negara sehingga dengan demikian tujuan negara dapat tercapai. Bentuk negara tersebut dinamakannya dengan Aristokrasi.  Artinya demokrasi bukanlah bentuk yang baik dan bahkan adalah bentuk transisi negara sebelum menjadi anarki.  
Aristoteles[8] lebih tegas menyatakan bahwa bentuk demokrasi adalah bentuk terjelek dari semua bentuk pemerintahan yang ada karena semua orang memerintah hanya untuk kepentingannnya sendiri-sendiri dan bukan untuk kepentingan umum/negara. Oleh karena itu dia memisahkan anatara warga negara yang mampu dan dapat melakukan permusyawaratan dalam negara dan non warga negara yang tidak dibolehkan ikut bermusyawarah seperti buruh dan anak-anak.[9] Dipersamakannya antara buruh dan anak-anak karena keduanya  tidak mampu untuk melakukan tindakan politik dalam negara, karena masih memikirkan diri kebutuhan pokok masing-masing.
Dari pendapat di atas, tersimpul bahwa demokrasi bukan ditentukan pada besarnya partisipasi rakyat, melainkan ditentukan oleh kualitas pengambil kebijakan negara. Kaum petani, buruh, dan pedagang yang pekerjaannya setiap hari bekerja untuk mencari nafkah memenuhi kehidupan keluarga setiap hari, tidak sempat nonton televisi dan baca media lainnya, tentu tidak tahu dan tidak akan mengerti  tentang negara, tentang bagaimana cara mencapai tujuan negara, yang dia tahu adalah bagaimana kebutuhannya terpenuhi dan anaknya dapat sekolah. Dan pelibatan mereka untuk menentukan kebijakan negara adalah tidak bermanfaat, karena dia akan dijadikan alat legirtimasi dari para politis yang punya tujuan politik tertentu. Oleh karena itu kualitas demokrasi tidak ditentukan oleh banyaknya orang yang mengambil keputusan negara melainkan ditentukan oleh kualitas orang-orang  yang mengambil keputusan negara. Dan untuk itu diperlukan adanya pembatasan terhadap orang-orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan negara.
Keadaan yang demikian  menghendaki kedaulatan rakyat dilaksanakan dengan cara perwakilan, atau yang sering disebut dengan demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Wakil-wakil rakyat  bertindak atas nama rakyat, baik itu dalam  menetapkan tujuan negara (baik jangka panjang maupun jangka pendek),  corak maupun  sistem pemerintahan.
 Konsekuensi dari kedaulatan rakyat yang diwakilkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, adalah harus adanya  mekanisme bagaimana  mekanisme dapat dilaksanakannya kedaulatan rakyat tersebut kepada wakil rakyat.[10] Untuk keperluan itulah diselenggarakan pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala.  Penyelenggaraan demikian menjadi penting karena beberapa alasan. Pertama, pendapat atau aspirasi rakyat mengenai berbagai aspek kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat dinamis, dan berkembang dari waktu ke waktu. Kedua, kondisi kehidupan bersama dalam masyarakat dapat berubah, baik karena dinamika dunia internasional maupun karena faktor-faktor dalam negeri. Ketiga, perubahan aspirasi dan pendapat rakyat juga dapat dimungkinkan terjadi karena pertambahan jumlah penduduk/rakyat yang dewasa sebagai pemilih baru (new voters). Keempat, pemilihan umum perlu diadakan secara teratur dengan maksud menjamin terjadinya pergantian kepemimpinan negara, baik di bidang legislative maupun eksekutif.[11]

2.        Pemilu
Dalam kerangka negara demokrasi, pelaksanaan pemilu merupakan momentum yang sangat penting bagi pembentukan pemerintahan dan penyelenggaraan negara periode berikutnya.  Pemilu, selain merupakan mekanisme bagi rakyat untuk memilih para wakil juga dapat dilihat sebagai proses evaluasi dan pembentukan kembali kontrak sosial[12].   Begitu pentingnya pemilu sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, maka dalam konstitusi negara UUD 1945 hasil perubahan telah memberikan jaminan pemilu adalah salah-satunya cara untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.[13] Jaminan tersebut terlihat dalam pengaturan UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar, Pasal 2 ayat (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang, Pasal 18 ayat (3) ........... Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum, Pasal 19 ayat (1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum dan  Pasal 22C ayat  (1) bahwa anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.  Ketentuan tersebut ditutup oleh Bab khusus tentang Pemilu yaitu Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan:
(1)         Pemilihan umum diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
(2)         Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3)         Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
(4)         Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah adalah perseorangan.
(5)         Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
(6)         Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
Artinya pemilu merupakan pranata wajib dalam pelaksanaan kedalatan rakyat dan konstitusi memberikan arah dan mengatur tentang prinsip-prinsip dasar pemilu yang akan dilaksanakan, tetapi tidak mengatur tentang mekanisme pelaksanaan dan ketentuan pemilih yang akan diatur dalam undang-undang.
2.        Pemilih dan Pembatasannya
            Salah tujuan pemilihan umum adalah terkait dengan pelaksanaan hak asasi manusia yatu hak politik (political right) yang diakui oleh unversal declaration of human right (Pasal 21)[14] dan ketentuan internasional lainnya tentang hak asasi manusia.  Oleh karena itu secara prinsip semua warga negara berhak  untuk mengggunakan hak pilihnya. Dan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia telah dijamin tentang pelaksanaan hak pilih tersebut. Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dinyatakan bahwa “Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin”. Dan selanjutnya menurut ketentuan Pasal 19 (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, diketahui bahwa Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.  Ketentuan diatas memang memberikan pembatasan terhadap anak-anak untuk menggunakan hak pilihnya.  Akan tetapi satu pertanyaan yang perlu dijawab adalah semua warga negara diluar anak-anak dianggap mampu untuk melaksanakan hak pilihnya?
Ikrar Nusa Bakhti[15] memberikan gambaran tentang buruknya kualita pemilih kita dalam pemilu yang baru saja berakhir dengan mengatakan “Dalam pemilihan umum kedudukan pemilih adalah subjek atau pelaku yang akan dapat menentukan pilihannya memilih DPR/D atau DPD dan Presiden dan wakil Presiden, dan sebagai subjek maka pemilih harus dapat menentukan sikap disebabkan oleh hal-hal diluar kemampuan dirinya. Satu dekade reformasi politik yang membawa negeri kita kembali ke era demokrasi konstitusional tampaknya bukan membawa kita ke alam kematangan berdemokrasi, tetapi justru membuat negeri ini terjerembab ke dalam praktik demokrasi transaksional yang amat buruk. Pada tataran akar rumput, sebagian pemilih mengharapkan imbalan dari suara yang mereka berikan kepada partai politik atau individu caleg pada pemilu legislatif ini. Sebaliknya, elite partai atau sebagian caleg juga mempraktikkan politik bagi-bagi uang, barang, atau bahkan bahan-bahan pokok.
Dengan kondisi tersebut, ternyata banyak para pemilih kita yang belum mampu untuk menentukan pilihannya sendiri, belum mampu membaca program yang ditawarkan. Sehingga suara yang digunakannya adalah hasil ketidakmengertiannya untuk memilih orang-orang yang dapat dipercaya  dan berkualitas melainkan dari orang-orang yang punya uang dan kekuasaan.  Pendapat senada disampaikan oleh Moh. Mahhfud[16] mengatakan bahwa pemilihan umum merupakan demokrasi menyesatkan karena menyerahkan kepada rakyat untuk menentukan pilihan haluan negara, padahal pada umumnya rakyat itu tidak tahu apa-apa alias awam. Penyerahan pilihan itu menyesatkan karena pilihan rakyat dapat bersifat buta, tiba-tiba atau transaksional, tergantung pada siapa yang mau membayar. Bahwa di dalam demokrasi itu banyak demagog, yakni agitator yang pandai menipu rakyat dengan pidato-pidato dan janji-janji bohong.
Dalam hal kedudukan rakyat tidak lagi berstaus sebagai subjek dalam pemilu melainkan sebagai objek dari para politisi, sehingga pemilih dapat dikendalikan. Oleh karena itu perlu adanya pemikiran untuk memberikan pembatasan pada pemilih untuk dapat menentukan pemilih yang berkulaitas dalam pemilu. Akan tetapi pertanyaan dapatkah pemilih dibatasi haknya dalam pemilu mengingat hak untuk ikut  pemilu merupakan hak politik yang dijamin dalam HAM?.
         Hak politik pemilih dalam pemilu tidak dapat digolongkan sebagai hak asasi yang bersifat absolut yaitu hak yang melekat pada diri manusia yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia tersebut, melainkan dapat digolongkan dalam hak asasi yang bersifat relatif, karena tanpa ikut memilih, eksistensinya sebagai manusia tetap ada dan tujuan hidupnya untuk kesejahteraan masih dapat dilaksanakan secara baik. Oleh karena itu hak politik demikian dapat dilakukan pembatasan dan/atau pengurangan. Dalam UUD 1945 dengan mengadopsi Universal Declaration of Human Right 1948 pada Pasal 28I Ayat (5) dijelaskan bahwa:
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Kemudian Pasal 28J
Ayat (2)
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu ma­syarakat demokratis.
Dengan demikian hak asasi yang bersifat relatif dapat dikurangi dan dibatasi oleh undang-undang sepanjang menjamin adanya pengakuan serta penghormatan atas hak orang lain dan untu memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan dan ketertiban umum.
         Montesqiu dengan Trian Politika secara hakekat telah mengajarkan tentang cara melakukan pembatasan kekuasaan dalam negara dengan memberikan tugas untuk masing-masing kekuasaan legisatif, eksektif dan yudikatif yang terpisah satu dengan yang lainnya. Pembatasan tersebut juga memberikan makna bahwa kekuasaan akan diserahkan pada lembaga yang berwenang dan mampu untuk melaksanakan kekuasaan, tanpa harus ikut campur pada tugas lembaga lain. Plato juga memberikan pemikiran tentang pengelompokkan masnusia sesai dengan kapasitasnya masing-masing, dan setiap kelompok mempunyai perannya masing-masing dalam negara, hal ini juga terlihat dalam filsafat Minangkabau.[17]
         Pembatasan pemilih dalam pemilu bukan diartikan sebagai menghilangkan hak seseorang akan tetapi mengatur penggunaan hak sesuai dengan kemampuan masing-masing. Pada dasarnya keikutsertaan warga negara dalam pemilu adalah bagian terkecil dari keikutsertaannya dalam pemerintahan. Dan karena kekuasaan pemerintahan memerlukan keahlian dan kemapuan tertentu (sekurang-kurangnya secara bijak dapat menentukan calon yang dipilih secara rasional), maka tidak semua masyarakat yang mampu untuk itu.  Oleh karena itu dalam pengurusan negara hak untuk memilih akan diberikan pada yang punya kemampuan, sehingga akan dapat keadilan secara substantif.[18].
          Hakekatnya pengaturan yang dilakukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 telah melakukan pembatasan dengan alasan memenuhi persyaratan umur dan terdaftar sebagai pemilih agar dapat melaksanakan hak pilihnya.  Akan tetapi secara substantif belum mampu untuk menyaring/memilih para pemilih yang berkualitas  dalam pelaksanaan pemilu yang berkualitas.
3.            Dewan Pemilih (electoral voters)
            Di Amerika Serikat, pemilihan Presiden dilakukan secara langsung, namun dalam pelaksanaannya tidak semua rakyat ikut datang ke tempat Pemungutan Suara untuk melakukan Pencontrenga/pencoblosan. Akan teapi dilakukan oleh dewan pemilih (elecetoral voters) yang tersebar disemua negara bagian. Dan dapat diyakini dewan pemilih adalah sama dengan suara rakyat.  Sehingga pelaksanaan pemilu di AS berlangsung dengan cepat dan tidak adanya anarki dan tidak ada persoalan hukum  yang tidak dapat disesesaikan.  Oleh karena itu tentu dengan biaya negara yang lebih murah.  Persoalan AS dan Indonesia mempunyai kesamaan dalam pluralisme masyarakatnya, dan sama  mempunyai wilayah yang luas.  Oleh karena itu efektifitas dan kualitas pemilu harus juga dilakukan tahapan untuk menentukan pemilih terlebih dahulu.
         Memang tidak mudah untuk menentukan electoral voters di Indoesia, karena orang masih dalam eferia demokrasi, semua orang sangat mudah terprovokasi jka haknya dikurangi. Dan untuk menentukan kriteria dan persyaratan bagi pemilih yang akan dituangkan dalam undang-undang pemilu, partai politik dan hak asasi manusia  membtuhkan kajian yang komprehensif sehingga dewan pemilih tersebut benar-benar sama atau representasi dari rakyat sesungguhnya. 
         Cara melakukan pemilihan dewan pemilih tentu tidak mungkin dengan melakukan pemilihan umum pendahuluan, karena akan menimbulkan persolan yang sama dengan yang dihadapi dalam pemilihan umum sekarang.    Negara kita terdiri banyak suku, budaya dan asal asul sebagai kekayaan bangsa dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika  adalah menjadi modal utama dalam menentukan pemilih, yaitu dengan mengaki eksistensi tata cara bermusyawarah yang dilakukan dalam budaya lokal tersebut.  Untuk itu gagasan Moh. Hatta[19]  dapat digunakan sebagai salah satu alternatif tata cara mencari pemilih berkualitas sebagaimana yang dikehendaki dalam peraturan perundang-undangan yang akan ditentukan,  Hatta menyatakan :
......................... karena rakyat itu terlalu banyak dan tidak mungkin dapat menjalankan pemerintahan, maka pemerintahan negeri diatur dengan cara perwakilan dengan perantaraan rapat-rapat dari dewan-dewan, berjonjong-jonjong (bersusun-susun) dari bawah ke atas, dari yang sekecil-kecilnya di desa sampai yang sebesar-besarnya yaitu dewan rakyat Indonesia.
Dengan cara bertingkat, maka tata caranya akan dapat disesuaikan dengan hukum Tata Negara Lokal masing-masing dan sudah tentu yang satu dengan yang lainnya mempunyai cara yang berbeda.   Sedangkan bagi masyakat perkotaan akan lebih mudah dengan menentukan persyaratan yang lebih rasional sehingga dapat diterima secara menyeluruh.
Akan tetapi tata cara di atas adalah suatu alternatif pemikiran. Untuk itu perlu ada kajian khusus secara historis, dan sosiologis untuk mencarikan model yang terbaik untuk melakukan penseleksian warga negara sehingga secara proporsional yang terpilih adalah sama dengan suara rakyat.

C.    KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan pelaksanaan pemilihan umum legislatif tanggal 9 Mei 2009, telah meninggalkan beberapa cacatan yang kurang baik dalam perkembangann demokrasi Indonesia. Kecurangangan secara sistematis telah dilakukan oleh para politisi dengan partai politiknya agar mereka dapat terpilih dalam pemilu.  Oleh karena itu tingginya partisipasi pemilih seperti pemilu yang dilakukan selama ini tidak berkorelasi dengan kualitas demokrasi dan kualitas calon yang terpilih rakyat, dan demokrasi lebih ditentukan oleh kualitas pemilih. Untuk mendapatkan pemilih yang berkualitas untuk memilih maka dibutuhkan undang-undang pemilu yang tegas memberikan pembatasan dan persyaratan untuk dapat dijadikan sebagai pemilih. Salah satu cara untuk melakukan penseleksian pemilih perlu dilaksanan kajian secara komprehensif dengan memperhatikan prinsip Bhineka Tunggal Ika sehingga kriteria dan persyaratan yang dimunculak dapat diterima semua pihak.

DAFTAR PUSTAKA
Arbi Sanit, Ormas dan Politik, LSIP, Jakarta, 1995
E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, P.T Ichtiar Baru, Jakarta, 1983
Harry Eckstein and David E. Apter (Ed.), Comparative Politics : A Reader, The Free Press of Glencoe, London, 1963
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2008
­----------------------------, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jenderal MK RI, 2006 J
---------------------------, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Serpihan Pikiran Hukum, Media dan HAM. Konpres Jakarta,2005
JJ. von Smith, Grot Denker over staat and Recht diterjamahkan oleh Wiratno dan Djamluddin Dt. Singo Mangkuto Ahli-ahli Pemikir Besar tentang Negara dan Hukum. Pembangunan Jakarta 1962
M. Rusli Karim, Pemilu Demokrasi Kompetitif, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998
Roger H. Soltau, An Introduction to Politics, Green & Co, Longmans, London, 1961
Sri Soemantri M., Undang-Undang Dasar 1945, Kedudukan dan Artinya dalam Kehidupan Bernegara, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2001
Harian Seputar Indonesia Tanggal 19 Januari 2009
 Harian Seputar Indonesia, Tanggal 13 April 20009.
 Harian Seputar Indonesia, Tanggal 7 April 2009.
Universal  Declaration of Human Right 1948
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2003 Tentang Pengadilan HAM
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah





[1] Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu dan mahasiswa Program S3 Universitas Brawijaya Malang.
[2] Mahfud, Demokrasi Pilihan Terpaksa, Harian Seputar Indonesia, Tanggal 13 April 20009.
[3] Ikrar Nusa Bhakti, Distorsi Praktik Politik Kita, Harian Seputar Indonesia, Tanggal 7 April 2009.
[4] Bandingkan dengan putusan Mahkamah Konstisi Thailand yang membatalakan hasil Pemilu Nasional dan sekaligus membubarkan Partai Politik yang melakukan kecurangan  dalam Pemilu..
[5] Jimly Assidiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Serpihan Pikiran Hukum, Media dan HAM. Konpres Jakarta,2005 hlm 241.
[6] .JJ. von Smith, Grot Denker over staat and Recht diterjamahkan oleh Wiratno dan Djamluddin Dt. Singo Mangkuto Ahli-ahli Pemikir Besar tentang Negara dan Hukum. Pembangunan Jakarta 1962 hlm. 12.
[7] Ibid .hlm 18.
[8]  Ibid. hlm 41
[9]  Ibid. hlm 40
[10] Jean Bodin menyatakan bahwa kedaulatan tidak dapat berpindah kepada pihak lain karena dia mempunyai sifat Tunggal, Asli, Abadi dan Tidak dapat dibagi-bagi.
[11] Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekjend Mahkamah Kosntitusi RI 2006 hlm.170
[12] Janedri M Gafar, Pelanggaran dan Sengketa Pemilihan Umum, Harian Seputar Indonesia Tanggal 19 Januari 2009.
[13] Berbeda dengan sebelum perubahan UUD 1945, kata-kata pemilu tidak ditemukan dalam UUD 1945, dan pelaksanaan pemilu adalah hasil penafsiran dari Pasal 1 (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
[14] . Pasal 21 menyatakan:
1.  Setiap orang berhak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan negaranya, baik secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilihnya secara bebas.
2.  Setiap orang berhak atas akses yang sama untuk memperoleh pelayanan umum di negaranya.
3. Keinginan rakyat harus dijadikan dasar kewenangan pemerintah; keinginan tersebut harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilakukan secara berkala dan sungguh-sungguh, dengan hak pilih yang bersifat universal dan sederajat, serta dilakukan melalui pemungutan suara yang rahasia ataupun melalui prosedur pemungutan suara secara bebas yang setara.

[15] Ikrar Nusa Bhakti, Op.Cip
[16] Mahfuz, Op.cit
[17] Dalam pepatah Minangkabau juga dikatakan bahwa tidak ada orang yang tidak berguna, yang buta peniup lesung (tempat penumbuk padi jadi beras), yang lumpuh untuk menunggu rumah,yang pintar tempat bertanya, yang bodoh untuk disuruh-suruh dan pekak(tuli) pelepas bedil (jadi tentara).
[18] Hak ini menurut Plato adimiliki oleh para cendikiawan, sedang di Minangkabau oleh para cerdik pandai.
[19] Moh Hatta, Kedaulatan Rakyat, Usaha Nasional Surabaya, 1980, hlm 13-14

Komentar

Postingan Populer