PEMILU YANG DEMOKRATIS?
Dipublikasikan
Pada
Jurnal
Konstitusi Edisi Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum
Univeristas
Bengkulu
Volume
II Nomor 1 Juni 2009
Halaman
60-74
PEMILU YANG DEMOKRATIS?
Oleh
Ardilafiza,S.H.M.Hum[1]
Abstract
The legislative election organized this 2009 left several negative notes to the implementation of
general election in Indonesia. The fraudulenses, coming from many aspects, such
as the list of permanent elector, the
invisible campaign commitee, the money politic, and the involvement of committee
election in manipulating the votes, will not be substantialy solved by Supreme
Constitution Court. The question then would be: have the implemented general
elections been democratic? General election is a manifastation of souvereignty
of people, known as democratic state. The performance of democratic and general
election can’t be measured by quantity of elector, but the quality of the
electors (voters). Thus, the phases in determining the
electors selectively become necessary to organize a good quality elector.
Key word (kata-kata kunci): General election,
democracy, elector (Pemilihan umum, demokrasi,
pemilih).
A. Latar
belakang
Dari beberapa tulisan seperti Moh.Mahfuz[2],
Ikrar Nusa
Bhakti[3] dan banyak lagi penulis
lainnya yang memberikan gambaran ketidakpuasan pelaksanaan pemilihan umum tahun
2009 ini. Mahhfud dan Ikrar secara terang-terangan mengatakan demokrasi adalah
pilihan terpaksa dan bukan yang terbaik.
Kondisi demikian muncul sebagai akibat beberapa pelaksanaan pemilu tidak
dapat menghasilkan lembaga perwakilan yang baik. Pemilu hanya dianggap sebagai alat legitimasi
formal dari para politisi dan merupakan sandiwara politik, jual beli suara (money politic), atau juga sebagai arena
untuk mengajarkan atau mendidik masyarakat cara berbohong dan menipu. Semua perilaku di atas jelas dilarang pada
semua aturan pemilu yang pernah ada. Tetapi realita dalam setiap pelaksanaan
pemilu, semua kejadian di atas tidak mempunyai akibat hukum. Memang terbiasa dalam praktek di Indonesia,
bahwa asas yang begitu baik tidak diikuti oleh pengaturan lanjutan dalam
mekanisme dan proses pelaksanaan yang dapat dipastikan tidak mungkin dapat
terlaksana sesuai dengan asas yang telah
disepakati. Asas tinggal asas sedangkan pengaturan tentang pasal-pasal
pelaksanaan walaupun berada dalam satu undang-undang tetapi seolah-olah berada
pada tempat terpisah.
Pelaksanaan pemilu legislatif yang baru saja berakhir adalah pesta
demokrasi yang penuh dengan cacatan kurang baik. Di Propinsi Bengkulu saja,
cacatan kecurangan pemilu tidak hanya dalam persoalan Daftar Pemilih Tetap,
tetapi juga pada tahap kampanye dengan tim kampanye siluman, money politik dan politik dagang sapi diantara para
caleg. Kejadian tersebut salah satunya
juga berpokok pangkal pada pelaksana pemilu Komisi Pemilihan Umum dan
Bawaslu/Panwaslu yang tidak independen.
KPU ikut bermain membantu beberapa caleg yang telah diproyeksikan dan
diperjanjikan antara anggota KPU dengan orang yang ikut membantu dia duduk
sebagai anggota. Di Kabupaten Kaur hasil pleno yang juga diplenokan ditingkat
propinsi 20.000 suara seorang calon dengan gampangnya pindah ke calon lain, dan
untungnya masalah tersebut dapat diselesaikan pada KPU Pusat. Itu adalah
sebagian kecurangan yang dapat diungkap, dan masih banyak kecurangan yang tidak
dapat diungkap. Semua hal tersebut oleh
KPU dibiarkan dan diberikan peluang dan kepercayaan pada Mahkamah Konstitusi
untuk menyelesaikan sengketa yang dapat memberikan keadilan.
Kalau dilihhat dari Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum angota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Peerwakilan Rakyat Daerah dikenal adanya tiga jenis pelanggaran pemilu, yaitu pelanggaran
administrasi, pelanggaran pidana pemilu dan sengketa hasil
pemilu. Pelanggaran Adminstrasi berupa
persyaratan adminstrasi (Pasal 63) akan diselesaikan oleh KPU/D dan Bawaslu/
Panwaslu dan jika ada unsur pemalsuan akan dilaporkan pada kepolisian. Pelanggaran
Pidana berupa money politik (Pasal 286), kekerasan dalam Pemilu (Pasal 287)
akan disesaikan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dengan memberikan
batas waktu pengaduan dan putusan yang diambil 5 hari sebelum penetapan hasil
pemilu (Pasal 257). Dengan pembatasan yang ada mungkin keadilan subtantif dapat
dibuat oleh pengadilan mengingat komplesitas pembuktian dalam pidana pemilu
lebih rumit dari pidana biasa
lainnya. Semua pelanggaran
Pidana Pemilu dan Pelanggaran Administrasi membawa akibat pada keabsahan jumlah
suara dalam pemilu, sehingga penyelesai sengketa hasil pemilu yang terpisah
dari persolan pidana dan adminstrasi tidak mampu melahirkan putusan yang
mendatangkan keadilan substantif.
Terobosan hukum yang dilakukan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya
mengenai sengketa hasil Pemilu Kepala Daerah Jawa Timur dan Bengkulu Selatan,
adalah mustahil untuk diulangi oleh
Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa pemilu 2009 ini.
Mahkamah Konstitusi tidak akan mungkin konsisten melakukan putusan yang akan
menimbulkan dampak secara nasional, mengingat seluruh pemilu legislatif secara
substantif melanggar konstitusi yaitu pasal 22E Ayat (1) bahwa Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun
sekali. Pasal
tersebut juga dijadikan sebagai pertimbangan dan mengambil putusan dalam
perkara pemilu Kepala Daerah di atas.
Dan juga Mahkamah Konstitusi tidak akan berani mengambil putusan dengan
menggabungkan kewenangan Mahkamah Konstitusi yaitu penyelesaian sengketa hasil pemilu
dan pembubaran partai politik secara sekaligus sehingga penyelesaian sengketa
dapat dituntaskan secara substantif.[4]
Banyaknya pelanggaran dalam pemilu dan kelemahan struktural dalam
penyesaian sengketa pemilu secara komprehensif dan substantif tidak mungkin
dapat dilakukan, sebagaimana yang telah dicitakan-citakan dalam asasnya yaitu jujur
dan adil, maka tulisan ini diharapkan dapat menjawab apakah pemilu yang kita
laksanakan selama ini sudah demokratis? Dan sekaligus mengemukakan ide pelaksanaan pemilu
yang demokratis ditengah-tengah pendidikan politik masyarakat yang masih sangat
kurang.
B.
Pembahasan
1.
Demokrasi
Demokrasi pertama-tama gagasan yang mengandaikan bahwa kekuasaan itu
adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam pengertian yang partisipatifdemokrasi
bahkan disebut sebagai kekuasaan dari, oleh dan bersama rakyat. Dan oleh karena
itu rakyatlah yang menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya
menyelenggarakan sesungguhnya kehidupan kenegaraan[5].
Hal itu tetnut tidak mungkin dapat dilaksanakan karena menginngat jumlah
penduduk, luas wilayah dan kompleksitas permasalah pada negara sekarang ini
adalah tidak mungkin semua rakyat akan ikut memerintah. Oleh karena itu
demikrasi hanyalah dunia idee dan bukan
dunia nyata sebagaimana diajarkan Plato[6],
karena terjadi perbedaan yang cukup dalam antara das Sein dan Solllen. Hal itu dibuktikan setiap negara modern sekarang ini menyatakan
negaranya adalah negara demokrasi, tetapi kenyataannya terdapat perbedaan
partisipasi rakyat dalam setan negara yangmenamakan dirinya demokrasi
tersebut.
Plato lebih dari 2500 tahun yang lalu mengatakan bahwa jika negara
mau sempurna maka penguasa adalah para ahli pikir[7],
karena dengan para ahli pikir/ahli filasatlah yang mengerti dan tentang ide
negara sehingga dengan demikian tujuan negara dapat tercapai. Bentuk negara
tersebut dinamakannya dengan Aristokrasi.
Artinya demokrasi bukanlah bentuk yang baik dan bahkan adalah bentuk
transisi negara sebelum menjadi anarki.
Aristoteles[8]
lebih tegas menyatakan bahwa bentuk demokrasi adalah bentuk terjelek dari semua
bentuk pemerintahan yang ada karena semua orang memerintah hanya untuk
kepentingannnya sendiri-sendiri dan bukan untuk kepentingan umum/negara. Oleh
karena itu dia memisahkan anatara warga negara yang mampu dan dapat melakukan
permusyawaratan dalam negara dan non warga negara yang tidak dibolehkan ikut
bermusyawarah seperti buruh dan anak-anak.[9]
Dipersamakannya antara buruh dan anak-anak karena keduanya tidak mampu untuk melakukan tindakan politik
dalam negara, karena masih memikirkan diri kebutuhan pokok masing-masing.
Dari pendapat di atas, tersimpul bahwa demokrasi bukan ditentukan
pada besarnya partisipasi rakyat, melainkan ditentukan oleh kualitas pengambil
kebijakan negara. Kaum petani, buruh, dan pedagang yang pekerjaannya setiap
hari bekerja untuk mencari nafkah memenuhi kehidupan keluarga setiap hari,
tidak sempat nonton televisi dan baca media lainnya, tentu tidak tahu dan tidak
akan mengerti tentang negara, tentang
bagaimana cara mencapai tujuan negara, yang dia tahu adalah bagaimana
kebutuhannya terpenuhi dan anaknya dapat sekolah. Dan pelibatan mereka untuk
menentukan kebijakan negara adalah tidak bermanfaat, karena dia akan dijadikan
alat legirtimasi dari para politis yang punya tujuan politik tertentu. Oleh
karena itu kualitas demokrasi tidak ditentukan oleh banyaknya orang yang
mengambil keputusan negara melainkan ditentukan oleh kualitas orang-orang yang mengambil keputusan negara. Dan untuk
itu diperlukan adanya pembatasan terhadap orang-orang yang terlibat dalam
pengambilan keputusan negara.
Keadaan yang demikian
menghendaki kedaulatan rakyat dilaksanakan dengan cara perwakilan, atau
yang sering disebut dengan demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung (indirect
democracy). Wakil-wakil rakyat
bertindak atas nama rakyat, baik itu dalam menetapkan tujuan negara (baik jangka panjang
maupun jangka pendek), corak maupun sistem pemerintahan.
Konsekuensi dari kedaulatan
rakyat yang diwakilkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, adalah harus adanya mekanisme bagaimana mekanisme dapat dilaksanakannya kedaulatan
rakyat tersebut kepada wakil rakyat.[10]
Untuk keperluan itulah diselenggarakan pemilihan umum yang dilaksanakan secara
berkala. Penyelenggaraan demikian
menjadi penting karena beberapa alasan. Pertama,
pendapat atau aspirasi rakyat mengenai berbagai aspek kehidupan bersama dalam
masyarakat bersifat dinamis, dan berkembang dari waktu ke waktu. Kedua, kondisi kehidupan bersama dalam
masyarakat dapat berubah, baik karena dinamika dunia internasional maupun
karena faktor-faktor dalam negeri. Ketiga,
perubahan aspirasi dan pendapat rakyat juga dapat dimungkinkan terjadi karena
pertambahan jumlah penduduk/rakyat yang dewasa sebagai pemilih baru (new voters). Keempat, pemilihan umum perlu diadakan secara teratur dengan maksud
menjamin terjadinya pergantian kepemimpinan negara, baik di bidang legislative
maupun eksekutif.[11]
2.
Pemilu
Dalam kerangka negara demokrasi, pelaksanaan
pemilu merupakan momentum yang sangat penting bagi pembentukan pemerintahan dan
penyelenggaraan negara periode berikutnya. Pemilu, selain merupakan mekanisme bagi rakyat untuk memilih para wakil juga dapat
dilihat sebagai proses evaluasi dan pembentukan kembali kontrak sosial[12]. Begitu pentingnya pemilu
sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, maka dalam konstitusi negara UUD 1945
hasil perubahan telah memberikan jaminan pemilu adalah salah-satunya cara untuk
mewujudkan kedaulatan rakyat.[13]
Jaminan tersebut terlihat dalam pengaturan UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
yang menyatakan Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar, Pasal 2 ayat
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri
atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang
dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang, Pasal
18 ayat (3) ........... Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum, Pasal
19 ayat (1) Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dipilih melalui pemilihan umum dan Pasal 22C ayat
(1) bahwa anggota Dewan Perwakilan
Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Ketentuan tersebut ditutup oleh Bab khusus
tentang Pemilu yaitu Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan:
(1)
Pemilihan umum diselenggarakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun
sekali.
(2)
Pemilihan umum diselenggarakan
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3)
Peserta pemilihan umum untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah adalah partai politik.
(4)
Peserta pemilihan umum untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah adalah perseorangan.
(5)
Pemilihan umum diselenggarakan
oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
(6)
Ketentuan lebih lanjut tentang
pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
Artinya pemilu merupakan pranata wajib dalam pelaksanaan kedalatan rakyat
dan konstitusi memberikan arah dan mengatur tentang prinsip-prinsip dasar
pemilu yang akan dilaksanakan, tetapi tidak mengatur tentang mekanisme
pelaksanaan dan ketentuan pemilih yang akan diatur dalam undang-undang.
2.
Pemilih
dan Pembatasannya
Salah tujuan
pemilihan umum adalah terkait dengan pelaksanaan hak asasi manusia yatu hak
politik (political right) yang diakui
oleh unversal declaration of human right
(Pasal 21)[14]
dan ketentuan internasional lainnya tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu secara prinsip semua warga
negara berhak untuk mengggunakan hak
pilihnya. Dan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia telah dijamin
tentang pelaksanaan hak pilih tersebut. Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dinyatakan bahwa
“Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh
belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin”. Dan selanjutnya menurut
ketentuan Pasal 19 (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, diketahui bahwa Warga Negara Indonesia yang pada hari
pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau
sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. Ketentuan diatas memang memberikan pembatasan
terhadap anak-anak untuk menggunakan hak pilihnya. Akan tetapi satu pertanyaan yang perlu
dijawab adalah semua warga negara diluar anak-anak dianggap mampu untuk
melaksanakan hak pilihnya?
Ikrar Nusa
Bakhti[15]
memberikan gambaran tentang buruknya kualita pemilih kita dalam pemilu yang
baru saja berakhir dengan mengatakan “Dalam pemilihan umum kedudukan pemilih
adalah subjek atau pelaku yang akan dapat menentukan pilihannya memilih DPR/D
atau DPD dan Presiden dan wakil Presiden, dan sebagai subjek maka pemilih harus
dapat menentukan sikap disebabkan oleh hal-hal diluar kemampuan dirinya. Satu dekade reformasi politik yang membawa
negeri kita kembali ke era demokrasi konstitusional tampaknya bukan membawa
kita ke alam kematangan berdemokrasi, tetapi justru membuat negeri ini
terjerembab ke dalam praktik demokrasi transaksional yang amat buruk. Pada
tataran akar rumput, sebagian pemilih mengharapkan imbalan dari suara yang
mereka berikan kepada partai politik atau individu caleg pada pemilu legislatif
ini. Sebaliknya, elite partai atau sebagian caleg juga mempraktikkan politik
bagi-bagi uang, barang, atau bahkan bahan-bahan pokok.
Dengan
kondisi tersebut, ternyata
banyak para pemilih kita yang belum mampu untuk menentukan pilihannya sendiri, belum mampu membaca program yang
ditawarkan. Sehingga suara yang digunakannya adalah hasil ketidakmengertiannya untuk memilih
orang-orang yang dapat
dipercaya dan berkualitas melainkan dari
orang-orang yang punya uang dan kekuasaan. Pendapat senada disampaikan oleh Moh. Mahhfud[16]
mengatakan bahwa pemilihan
umum merupakan demokrasi menyesatkan
karena menyerahkan kepada rakyat untuk menentukan pilihan haluan negara,
padahal pada umumnya rakyat itu tidak tahu apa-apa alias awam. Penyerahan
pilihan itu menyesatkan karena pilihan rakyat dapat bersifat buta, tiba-tiba
atau transaksional, tergantung pada siapa yang mau membayar. Bahwa di dalam demokrasi itu banyak demagog,
yakni agitator yang pandai menipu
rakyat dengan pidato-pidato dan janji-janji bohong.
Dalam hal kedudukan rakyat tidak lagi berstaus sebagai subjek dalam
pemilu melainkan sebagai objek dari para politisi, sehingga pemilih dapat
dikendalikan. Oleh karena itu perlu adanya pemikiran untuk memberikan
pembatasan pada pemilih untuk dapat menentukan pemilih yang berkulaitas dalam
pemilu. Akan tetapi pertanyaan dapatkah pemilih dibatasi haknya dalam pemilu mengingat
hak untuk ikut pemilu merupakan hak
politik yang dijamin dalam HAM?.
Hak politik pemilih
dalam pemilu tidak dapat digolongkan sebagai hak asasi yang bersifat absolut
yaitu hak yang melekat pada diri manusia yang tidak dapat dipisahkan dari diri
manusia tersebut, melainkan dapat digolongkan dalam hak asasi yang bersifat
relatif, karena tanpa ikut memilih, eksistensinya sebagai manusia tetap ada dan
tujuan hidupnya untuk kesejahteraan masih dapat dilaksanakan secara baik. Oleh
karena itu hak politik demikian dapat dilakukan pembatasan dan/atau
pengurangan. Dalam UUD 1945 dengan mengadopsi Universal Declaration of Human
Right 1948 pada Pasal 28I Ayat (5) dijelaskan bahwa:
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin,
diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Kemudian
Pasal 28J
Ayat (2)
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dengan demikian hak asasi yang bersifat relatif dapat dikurangi dan
dibatasi oleh undang-undang sepanjang menjamin adanya pengakuan serta
penghormatan atas hak orang lain dan untu memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan dan ketertiban umum.
Montesqiu dengan Trian Politika secara hakekat telah
mengajarkan tentang cara melakukan pembatasan kekuasaan dalam negara dengan
memberikan tugas untuk masing-masing kekuasaan legisatif, eksektif dan
yudikatif yang terpisah satu dengan yang lainnya. Pembatasan tersebut juga
memberikan makna bahwa kekuasaan akan diserahkan pada lembaga yang berwenang
dan mampu untuk melaksanakan kekuasaan, tanpa harus ikut campur pada tugas
lembaga lain. Plato juga memberikan pemikiran tentang pengelompokkan masnusia
sesai dengan kapasitasnya masing-masing, dan setiap kelompok mempunyai perannya
masing-masing dalam negara, hal ini juga terlihat dalam filsafat Minangkabau.[17]
Pembatasan pemilih
dalam pemilu bukan diartikan sebagai menghilangkan hak seseorang akan tetapi
mengatur penggunaan hak sesuai dengan kemampuan masing-masing. Pada dasarnya
keikutsertaan warga negara dalam pemilu adalah bagian terkecil dari keikutsertaannya
dalam pemerintahan. Dan karena kekuasaan pemerintahan memerlukan keahlian dan
kemapuan tertentu (sekurang-kurangnya secara bijak dapat menentukan calon yang
dipilih secara rasional), maka tidak semua masyarakat yang mampu untuk itu. Oleh karena itu dalam pengurusan negara hak
untuk memilih akan diberikan pada yang punya kemampuan, sehingga akan dapat
keadilan secara substantif.[18].
Hakekatnya pengaturan yang dilakukan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 telah melakukan pembatasan dengan alasan
memenuhi persyaratan umur dan terdaftar sebagai pemilih agar dapat melaksanakan
hak pilihnya. Akan tetapi secara
substantif belum mampu untuk menyaring/memilih para pemilih yang
berkualitas dalam pelaksanaan pemilu
yang berkualitas.
3.
Dewan
Pemilih (electoral voters)
Di
Amerika Serikat, pemilihan Presiden dilakukan secara langsung, namun dalam
pelaksanaannya tidak semua rakyat ikut datang ke tempat Pemungutan Suara untuk
melakukan Pencontrenga/pencoblosan. Akan teapi dilakukan oleh dewan pemilih (elecetoral voters) yang tersebar disemua
negara bagian. Dan dapat diyakini dewan pemilih adalah sama dengan suara
rakyat. Sehingga pelaksanaan pemilu di
AS berlangsung dengan cepat dan tidak adanya anarki dan tidak ada persoalan
hukum yang tidak dapat disesesaikan. Oleh karena itu tentu dengan biaya negara
yang lebih murah. Persoalan AS dan
Indonesia mempunyai kesamaan dalam pluralisme masyarakatnya, dan sama mempunyai wilayah yang luas. Oleh karena itu efektifitas dan kualitas
pemilu harus juga dilakukan tahapan untuk menentukan pemilih terlebih dahulu.
Memang tidak mudah
untuk menentukan electoral voters di
Indoesia, karena orang masih dalam eferia demokrasi, semua orang sangat mudah
terprovokasi jka haknya dikurangi. Dan untuk menentukan kriteria dan persyaratan
bagi pemilih yang akan dituangkan dalam undang-undang pemilu, partai politik
dan hak asasi manusia membtuhkan kajian
yang komprehensif sehingga dewan pemilih tersebut benar-benar sama atau
representasi dari rakyat sesungguhnya.
Cara melakukan
pemilihan dewan pemilih tentu tidak mungkin dengan melakukan pemilihan umum
pendahuluan, karena akan menimbulkan persolan yang sama dengan yang dihadapi
dalam pemilihan umum sekarang. Negara
kita terdiri banyak suku, budaya dan asal asul sebagai kekayaan bangsa dengan
semboyan Bhineka Tunggal Ika adalah
menjadi modal utama dalam menentukan pemilih, yaitu dengan mengaki eksistensi
tata cara bermusyawarah yang dilakukan dalam budaya lokal tersebut. Untuk itu gagasan Moh. Hatta[19] dapat digunakan sebagai salah satu alternatif
tata cara mencari pemilih berkualitas sebagaimana yang dikehendaki dalam
peraturan perundang-undangan yang akan ditentukan, Hatta menyatakan :
......................... karena rakyat itu terlalu
banyak dan tidak mungkin dapat menjalankan pemerintahan, maka pemerintahan
negeri diatur dengan cara perwakilan dengan perantaraan rapat-rapat dari
dewan-dewan, berjonjong-jonjong (bersusun-susun) dari bawah ke atas, dari yang
sekecil-kecilnya di desa sampai yang sebesar-besarnya yaitu dewan rakyat
Indonesia.
Dengan cara
bertingkat, maka tata caranya akan dapat disesuaikan dengan hukum Tata Negara
Lokal masing-masing dan sudah tentu yang satu dengan yang lainnya mempunyai
cara yang berbeda. Sedangkan bagi
masyakat perkotaan akan lebih mudah dengan menentukan persyaratan yang lebih
rasional sehingga dapat diterima secara menyeluruh.
Akan tetapi tata
cara di atas adalah suatu alternatif pemikiran. Untuk itu perlu ada kajian
khusus secara historis, dan sosiologis untuk mencarikan model yang terbaik
untuk melakukan penseleksian warga negara sehingga secara proporsional yang
terpilih adalah sama dengan suara rakyat.
C. KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan pelaksanaan pemilihan umum legislatif tanggal
9 Mei 2009, telah meninggalkan beberapa cacatan yang kurang baik dalam
perkembangann demokrasi Indonesia. Kecurangangan secara sistematis telah
dilakukan oleh para politisi dengan partai politiknya agar mereka dapat
terpilih dalam pemilu. Oleh karena itu
tingginya partisipasi pemilih seperti pemilu yang dilakukan selama ini tidak
berkorelasi dengan kualitas demokrasi dan kualitas calon yang terpilih rakyat,
dan demokrasi lebih ditentukan oleh kualitas pemilih. Untuk mendapatkan pemilih
yang berkualitas untuk memilih maka dibutuhkan undang-undang pemilu yang tegas
memberikan pembatasan dan persyaratan untuk dapat dijadikan sebagai pemilih.
Salah satu cara untuk melakukan penseleksian pemilih perlu dilaksanan kajian
secara komprehensif dengan memperhatikan prinsip Bhineka Tunggal Ika sehingga
kriteria dan persyaratan yang dimunculak dapat diterima semua pihak.
DAFTAR
PUSTAKA
Arbi Sanit, Ormas dan Politik,
LSIP, Jakarta, 1995
E. Utrecht dan Moh. Saleh
Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, P.T Ichtiar Baru, Jakarta,
1983
Harry Eckstein
and David E. Apter (Ed.), Comparative Politics : A Reader, The
Free Press of Glencoe, London, 1963
Jimly
Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT
Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2008
----------------------------,
Pengantar
Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jenderal MK RI, 2006 J
---------------------------,
Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar
Demokrasi, Serpihan Pikiran Hukum, Media dan HAM. Konpres Jakarta,2005
JJ. von Smith, Grot Denker over staat and Recht diterjamahkan
oleh Wiratno dan Djamluddin Dt. Singo Mangkuto Ahli-ahli Pemikir Besar tentang Negara dan Hukum. Pembangunan
Jakarta 1962
M. Rusli Karim,
Pemilu
Demokrasi Kompetitif, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991
Miriam Budiardjo,
Dasar-Dasar
Ilmu Politik, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1998
Roger H.
Soltau, An Introduction to Politics, Green & Co, Longmans, London,
1961
Sri Soemantri
M., Undang-Undang
Dasar 1945, Kedudukan dan Artinya dalam Kehidupan Bernegara, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2001
Harian Seputar Indonesia
Tanggal 19 Januari 2009
Harian Seputar Indonesia, Tanggal 13 April 20009.
Harian Seputar Indonesia, Tanggal
7 April 2009.
Universal Declaration of Human Right 1948
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2003 Tentang Pengadilan HAM
Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
[1] Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu dan mahasiswa Program S3
Universitas Brawijaya Malang.
[2] Mahfud, Demokrasi Pilihan Terpaksa, Harian Seputar Indonesia, Tanggal 13 April 20009.
[3] Ikrar
Nusa Bhakti, Distorsi Praktik Politik Kita, Harian
Seputar Indonesia, Tanggal 7 April 2009.
[4] Bandingkan dengan putusan Mahkamah Konstisi Thailand yang
membatalakan hasil Pemilu Nasional dan sekaligus membubarkan Partai Politik
yang melakukan kecurangan dalam Pemilu..
[5] Jimly Assidiqie, Hukum Tata
Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Serpihan Pikiran Hukum, Media dan HAM.
Konpres Jakarta,2005 hlm 241.
[6] .JJ. von Smith, Grot Denker
over staat and Recht diterjamahkan oleh Wiratno dan Djamluddin Dt. Singo
Mangkuto Ahli-ahli Pemikir Besar tentang
Negara dan Hukum. Pembangunan Jakarta 1962 hlm. 12.
[7] Ibid .hlm 18.
[8] Ibid. hlm 41
[9] Ibid. hlm 40
[10] Jean Bodin menyatakan bahwa kedaulatan tidak dapat berpindah kepada
pihak lain karena dia mempunyai sifat Tunggal, Asli, Abadi dan Tidak dapat
dibagi-bagi.
[11] Jimly Asshidiqie, Pengantar
Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekjend Mahkamah Kosntitusi RI 2006 hlm.170
[12] Janedri M Gafar, Pelanggaran dan Sengketa Pemilihan Umum, Harian
Seputar Indonesia Tanggal 19 Januari 2009.
[13] Berbeda dengan sebelum perubahan UUD 1945, kata-kata pemilu tidak
ditemukan dalam UUD 1945, dan pelaksanaan pemilu adalah hasil penafsiran dari
Pasal 1 (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
1. Setiap orang berhak untuk berpartisipasi
dalam pemerintahan negaranya, baik secara langsung atau melalui wakil-wakil
yang dipilihnya secara bebas.
2. Setiap orang berhak atas akses yang sama
untuk memperoleh pelayanan umum di negaranya.
3.
Keinginan rakyat harus dijadikan dasar kewenangan pemerintah; keinginan
tersebut harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilakukan secara berkala
dan sungguh-sungguh, dengan hak pilih yang bersifat universal dan sederajat,
serta dilakukan melalui pemungutan suara yang rahasia ataupun melalui prosedur
pemungutan suara secara bebas yang setara.
[15] Ikrar Nusa Bhakti, Op.Cip
[16] Mahfuz, Op.cit
[17] Dalam pepatah Minangkabau juga dikatakan bahwa tidak ada orang yang
tidak berguna, yang buta peniup lesung (tempat penumbuk padi jadi beras), yang
lumpuh untuk menunggu rumah,yang pintar tempat bertanya, yang bodoh untuk
disuruh-suruh dan pekak(tuli) pelepas bedil (jadi tentara).
[18] Hak ini menurut Plato adimiliki oleh para cendikiawan, sedang di
Minangkabau oleh para cerdik pandai.
[19] Moh Hatta, Kedaulatan Rakyat, Usaha Nasional Surabaya, 1980, hlm
13-14
Komentar
Posting Komentar