Pemikiran Menjaga Konstitusionalitas Peraturan Perudang-Undangan
Dipublikasikan
Pada
Jurnal
Konstitusi Edisi Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Univeristas Bengkulu
Volume
II Nomor 2 November 2008
Halaman
7-21
Penyatuan Lembaga yang
Berwenang Menguji Peraturan Perundang-Undangan Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung Tentang Uji MateriL PENGATURAN Pemilu
(Pemikiran Menjaga Konstitusionalitas Peraturan Perudang-Undangan)
Oleh
Ardilafiza, S.H.,M.Hum
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Bengkulu
|
Abstrak
Decision regarding
Examination of Law Number 10 Year 2008, substantially is able to arrange
constitutions order regarding votes residue on previous legislative general
election. On the other hand, the decision shows Constitution Supreme Court
superiority, in that its juridical ability could cause the Supreme Court
decision does not possess any legal power, notwithstanding the basic idea of
both supreme court is that they stand on the same level with their own
authority. Similar authority coming from different examination emerges such
superiority. It results in hierarchy of legal order and authority in law
examining, which might cause interference between Constitution and other law in
lower level. To prevent that issue, a rethinking to unite institution which
capacity is to examine law should be handed in to Constitution Supreme Court
that it would form an equal law system in every level.
Keywords: Judicial Review,
Supreme Court, Constitutionalism
A. Pendahuluan
Walaupun
pelaksanaan hak uji materil undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar sudah
semakin mapan, masih terdapat beberapa persolan hukum terhadap pelakssanaan hak
uji ini secara menyeluruh. Putusan yang melahirkan norma hukum baru,
konsistensi putusan antara periode
hakim konstitusi masih perlu kajian hukum yang sangat dalam. Namun, masyarakat
Indonesia sejauh ini dapat dikatakan menerima kehadiran aktivisme yudisial (Mahkamah Konstitusi) sebagai alternatif solusi hukum ketika kondisi
memang memperhadapkan antara perlindungan konstitusional vis-a-vis
ketiadaan ataupun ketidakberdayaan peraturan hukum (constitutional
lawlessness). Dalam sistem demokrasi konstitusional, judicial review
dan judicial activism diyakini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dalam bidang hukum ketatanegaraan. [1]
Dari aspek kelembagaan yang
berwenang menguji peraturan perundang-undangan terdapat persoalan yang dapat
mengganggu sistem ketatanegaraan dan
menggangu sistem demokrasi dan sangat mungkin akan mengurangi kepercayaan
masyarakat pencari keadilan pada Mahkamah Agung.
Di Indoenesia terdapat dua
lembaga yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan, kedua lembaga
secara atribusi lahir dari Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 (UUD 1945),
dengan pembagian tugas dan wewenang yang berbeda. Mahkamah kosntitusi sebagaimana ditentukan Pasal 24C
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
Sedangkan Mahakamah Agung sebagaimana ditentukan Pasal 24A
berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Adanya pembagian tugas dan wewenang dalam
melaksanakan hak uji, memperlihatkan adanya superioritas Mahkamah Konstitusi
dari Mahkamah Agung. Sedangkan dalam UUD 1945 tidak ada keinginan untuk
melakukan dikotomi antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Tetapi secara
tidak sadar dengan pembagian tugas demikian superioritas Mahkamah Konstitusi
terhadap Mahkamah Agung tidak dapat dihindarkan.
Superioritas
Mahkamah Konstitusi dalam melakukan uji materi terlihat dalam Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi Nomor 24 Tahun 2003 Pasal 55 yang berbunyi:
Pengujian peratuuran
perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan oleh Mahkamah
Agung wajib dihentikan apabila undang-udang yang menjadi dasar
pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi
sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah terakhir
mengenai uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 khususnya
mengenai ketentuan Pasal 105 tentang perhitungan suara tahap dua dalam Pemilu
Legislatif yang lalu. Lahirnya putusan ini adalah sebagai akibat putusan
Mahkamah Agung Nomor 15/PHUM/2009. Dan menariknya kedua putusan yang secara
hukum dan dalam amar putusannya adalah final dan tidak ada upaya hukum lain,
ternyata Putusan Mahakamah Agung yang tadinya final menjadi tidak bermakma dan
tidak mempunyai kekuatan hukum setelah lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi.
Dengan posisi Mahkamah
Agung seperti di atas, maka eksistensi Mahakamah Agung pun akan semakin
terpuruk ditengah sedang membangun citra kelembagaannya untuk menjadi lembaga
yudisial yang dipercaya masyarakat pencari keadilan.
Dilain pihak adanya hirarkis
dalam pengujian peraturan perundang-undangan akan berakibat tidak terjaganya
peraturan perundan-undangan di bawah undang-undang terhadap nilai-nilai
konstitusi atau tidak ada jaminan Peraturan Pemerintah, Perpres, Perda dan beleid regels asesuai dengan materi konstitusi, karena
Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tidak tidak punya kewenangan menguji
dengan konstitusi melainkan terhadap undang-undang. Dan dilain pihak Mahkamah
Konstitusi juga tidak mempunyai kewenangan menguji peraturan di bawah
undang-undang. Sehingga staus quo peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang tidak dapat diselaraskan dengan konstitusi.
B. Masalah
Dari latar penjelasan terdahulu maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah
hirarki peraturan perundang-undangan dapat mengirangi konstitusionalitas
peraturan perundang-undangan?
2. Apakah
penyatuan lembaga yang melakukan uji materi peraturan perundang-undangan dapat
menjamin konstitusionalitas peraturan perundang-undangan?
C. Pembahasan
1.
Konstitusionalisme
dalam Hirarki peraturan Perundang-undangan
Tokoh yang terkenal dengan teorie jenjang norma hukum (Stufentheorie)
yaitu Hans Kelsen dalam teorienya dikemukakan bahwa norma –norma
hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis, yang merupakan suatu hierarki tata
susunan, yang mana norma yang lebih rendah berlaku dan bersumber pada norma
yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi, berlaku dan bersumber pada norma
yang lebih tinggi lagi dan seterusnya hingga sampai pada tingkatan norma yang
tidak dapat ditelusuri lebih lanjut yang disebut dengan norma dasar (Grundnorm). Teori hirarki peraturan perundang-undang
Hans Kelsen telah memberikan kerangka dasar dalam penataan sistem hukum suatu
negara kita. Teori tersebut telah jauh hari di adopsi dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yaitu dengan ditetapkannya Ketetapan MPRS Nomor
XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR yang kemudian diubah dengan
TAP/III/MPR/2000 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pemahaman sistem pertanggaan
bertingkat bahwa aturan yang lebih bawah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan yang lebih atasnya telah lama menjadi prinsip dalam
penyusunan/pembentukan perudang-undangan, hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan
Pasal 2 TAP Nomor III/MPR/2000 Tata urutan
peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di
bawahnya. Dan kemudian juga di adopsi oleh UU Nomor 10
tahun 2004 pada Pasal 7 (5) yang
menyartakan kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan
hierarki. Artinya norma yang menjadi dasar pembentukan peraturan
perundang-undangan adalah norma yang ada diatasnya. Ibarat menaiki tangga adalah tidak mungkin
untuk menaiki tangga pada tangga ketiga atau keempat lebih dahulu. Prinsip
berjenjang turun bertangga naik tersebut dalam menciptakan
konstitusionalime dalam perturan
perundang-undangan Indonesia adalah membingungkan, karena ada kemungkinan norma terbawah tidak
bertentangan dengan norma yang diatasnya, tetapi akan bertentangan dengan norma
UUD. Kemungkinan tersebut adalah dengan cara melakukan pengkaburan makna norma
UUD oleh pasal undang-undang, yang berikutnya peraturan di bawah akan lebih
leluasa mengatur tanpa berpedoman norma dasanya.
Sebagai
contoh kasus dapat dapat dicontohkan yaitu peraturan perundangan mengenai
pemerintah daerah. Sebagai dasar
konstitusional Pasal 18 ayat 5 UUD 1945
dinyatakan Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Penafsiran
pasal ini adalah semua urusan pemerintahan daerah seluruhnya terletak pada
daerah, kecuali urusan yang oleh undang-undang sebagai urusan pusat. Artinya
tidak adak penyerahan urusan (desentralisasi) dari dari pusat ke daerah
melainkan pusat dapat mengurangi urusan daerah dengan undang-undang dan bukan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam pelaksanaannya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah karena keinginan
politik di DPR mulai melakukan
pengkaburan secara sistematis makna terhadap Pasal 18 ayat (5).
Pengkaburan makna dilakukan
dengan seolah-olah mengakui eksistensi Pasal 18 (5) UUD 1945 melalui BAB III tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan pada Pasal 10 (1)
Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi
urusan Pemerintah. Penambahan
kata kewenangan adalh pintu masuk untuk melakukan pengkaburan makna tersebut,
karena kata kewenangan tersebut perlu ada penjelasan lebih lanjut. Hal tersebut
dibuktikan dengan munculnya Pasal 10 ayat (2) yang berbunyi:
Pemerintah daerah menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas
otonomi dan tugas pembantuan.
Munculnya kata tugas pembantuan
seolah-oleh pusat masih merasa kewenangan yang didapat daerah adalah hasil dari
penyerahan dari pusat. Sedangkan di lain
pihak di akui yang menjadi urusan pusat adalah politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter dan fiskal dan agama. Artinya selain urusan tersebut adalah urusan
daerah.
Kebingungan semakin jelas dengan muncul Pasal 10 (5) sebagai
berikut:
Dalam urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat:
a. menyelenggarakan
sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b. melimpahkan
sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; atau
c. menugaskan
sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa
berdasarkan asas tugas pembantuan.
Persoalannya adalah kewenangan pemerintah
yang diluar pemerintahan yang mana?
Karena semua urusan yang mendatangkan kewenangan telah dibagi habis
dalam UUD 1945, selain yang ditentukan
oleh undang-undang adalah urusan dan kewenangan daerah. Artinya kewenangan
daerah adalah sisa keweangan yang ditentukan undang-undang sebagai pemerintah
pusat.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah
provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi dan kota/kabupaten (Pasal 13 dan 14) mambah
kaburnya menafsirkan Pasal 18 (5) UUD 1945.
Sehingga Pemerintah dapat secara rinci mengatur pembagian kewenangan
antara pemerintah dengan daerah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2007. Pertanyaan muncul, apakah
Peraturan Pemerintah dapat membagi kewenangan pemerintahan?.
Contoh tersebut hanyalah salah
satu gambaran tentang kondisi peraturan perundang-undangan Indonesia saat ini,
dan jika dikaji lebih dalam akan ditemukan unkontitusionalitas peraturan
perundang-undangan yang lainnya.
Mekanisme pengkaburan nilai
dan materi konstitusi dapat digambarkan secara sitematis dalam gambar di bawah.
Gambar
di atas memperlihatkan adanya perubahan
warna pada setiap hirarki peraturan perundang-undangan. Pada awalnya UUD berwarna putih bersih
akhirnya pada tingkat paling bawah akan bertolak belakang dengan warna UUD
sesungguhnya. Karena pada setiap tahap, mulai pembentukan undang-undang telah
mulai dicarikan peluang untuk memaksakan keinginan politik tertentu, sehingga
makna UUD yang ada menjadi kabur. Selanjutnya pada tingkat PP secara materil
tidak lagi mendasarkan UUD melainkan pada undang-undang yang memerintahkan
dibentuknya Peraturan Pemerintah[2],
begitu selanjutnya pada tingkat Perpresdan Perda hanya mendasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dan yang memberikan perintah pembuatan. Jika pada tiap tahap
selalu terdapat unsur kepentingan, maka pada peraturan perundang-undangan
paling bawah atau beleid regels akan
bertentangan dengan UUD 1945 atau warna menjadi gelap.
2.
Kewenangan Mahkamah Agung dalam Judicial
Review dan Penyatuan lembaga yang berwenang menguji peraturan
perundang-undangan
Penggunaan istilah judicial review merupakan adanya pengaruh sistem
pengadilan Anglo Saxon pada sistem Eropah Kontinental, sehingga pengadilan
dengan leluasa dapat mempengaruhi penciptaan hukum yang pada prinsipnya adalah
kewenangan lembaga legislatif. Pada sistem hukum Eropa Kontinental lebih
mengenal istilah "materiele toetsingsrecht" atau hak untuk
menguji secara materiil.
Di Indonesa penggunaan istilah
yang tepat terhadap hak uji telah melahirkan awal munculnya dikotomi antara
antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Pertama istilah Judicial Review yang lebih awal atau sebelum amandemen
UUD diperkenalkan oleh Sri Soemantri[3], penggunaan istilah ini karena adanya hak
Mahkamah Agung untuk menguji peraturan peraturan perundang-undang di bawah
undang-undang dan pada saat itu tidak dimungkingkan adanya hak uji terhadap
undang-undang. Kedua muncul istilah Konstitusional Review yang dikemukakan oleh
Jimlie Assidiqie[4] sebagai suatu langkah untuk memposisikan Mahkamah Konstitusi sebagai “constitutional court” dan sekali gus the Guardian Constitution di
Indonesia. Perbedaan ini pada dasarnya
tidak penting dalam perkembangan peradilan Indonesia, karena dikotomi istilah
ini jelas memposisikan konstitusi/UUD
tidaklah termasuk rumpunnya peraturan
perundang-undangan, melainkan produk khusus yang kedudukannya lebih tinggi
dari peraturan perundang-undangan.[5]
Pada dasarnya judicial
review adalah doktrin dalam teori demokrasi di mana tindakan legislatif dan
eksekutif tunduk pada putusan
peradilan. Pengadilan yang membidanginya harus
membatalkan atau menyatakan
tidak mempunya kekuatan hukum tindakan badan legislatif atau eksekutif ketika pengadilan menemukan tindakan
tersebut tidak sesuai dengan otoritas yang lebih tinggi atau konstitusi negara. Artinya judisial review mempunyai pengertian
yang lebih luas dibandingkan penggunaan konstitusional review. Karena judicial
review juga mencakup pengujian terhadap konstitusi.
Kewenangan untuk menguji peraturan
perundng-undangan yang dipegang oleh Mahkamah Agung, memang telah dipunyai jauh
sebelum amandemen ke III UUD 1945. Namun sebelumnya sulit untuk menilai
efektifitas pelaksanaan hak tersebut, karena jarang sekali dimanfaatkan oleh
pencari keadilan. Tetapi setelah amandemen, seiring dengan meningkatnya
demokrasi dan pengetahuan masyarakat, penggunaan hak ini telah dilakukan
berulang dengan tujuan untuk menata sistem hukum menjadi lebih demokratis. Tetapi kenyataannya pemahaman Mahkamah Agung
terhadap berbagai permohonan judicial review menimbulkan pro dan kontra
ditengah masyarakat dan adakalanya tidak
dapat dilaksanakan. Hal tersebut disebabkan Mahkamah Agung :
1. Tugas
utama Mahkamah Agung adalah puncak dari peradilan yaitu peradilan umum militer,
agama dan TUN dan menganggap judical review bukan tugas utama;
2. Tidak
menjadikan konstitusi sebagai alat uji materi;
3. Menguji
dengan undang-undang yang secara hirarkis telah mulai kehilangan makna
konstitusionalitasnya.
4. Penafsiran
yang digunakan lebih pada tekstual dan bukan kontekstual, sehingga Mahkamah
Agung kelihatan sangat pragmatis dan sering lepas dari prinsip-prinsip dasar
seperti asas-asas hukum[6].
5. Dilihat
dari komposisi Hakim Agung, maka Kompetensi Mahkamah Agung tidak diarahkan pada
pengujian peraturan perundang-undangan, karena tidak satupun hakim yang
berlatarbelakang keilmuan Hukum Tata Negara. Karena itu mahkamah agung sangat
sulit untuk memasuki ranah keilmuan yang berbeda dengan latar belakang dan
pekerjaannya sehari-hari.
Dengan persolan di atas, maka wajar dengan adanya
kewenangan menguji peraturan perundang-undangan tidak melahirkan putusan yang
mampu menata sistem demokrasi lebih baik, melainkan terjadinya
inkonstitusionalitas pada peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang.
Untuk menghindari inkonstitusionalitas pada peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang, maka Mahkamah Agung dihadapkan pada pilihan pertama;
1. Mahkamah Agung harus diberi kewenangan untuk menafsirkan
Undang-Undang Dasar yang selama ini menjadi otoritas Mahkamah Konstitusi.
2. Mahkamah Agung harus diperkuat dengan
hakim agung yang berlatarbelakang hukum tata negara.
Akan
tetapi dilihat dari efektifitas dan konstitsionalitas putusan hakim, adalah
tidak mungkin ada dua lembaga yang dapat menafsirkan konstitusi. Dalam praktek
akan terjadi jika Mahkamah Agung menguji Peraturan Pemerintah terhadap
konstitusi dan dilain pihak Mahkamah Konstitusi juga menguji undang-undang
sebagai dasar pembuatan Peraturan Pemerintah tersebut. Jika putusan Mahkamah Agung menyatakan
Peraturan Pemerintah yang diuji adalah adalah konstitusional, sedangkan Putusan
Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menyatakan Undang-Undang yang menjadi
dasar pembuatan Peraturan Pemerintah di atas adalah tidak konstitusional.
Perbedaan penafsiran hakim terhadap
konstitusi dapat berbeda, dan perbedaan tersebut melahirkan dua putusan yang
berbeda juga, sehingga kepastian sistem hukum
tidak terjamin. Oleh karena itu Mahkamah Agung harus memilih pilihan
kedua yaitu menyerahkan tugas dan wewenang judicial
review pada Mahkamah Konstitusi.
Ide penyatuan lembaga yang menguji peraturan
perundang-undangan pernah disampaikan Jimly Assidiqie[7]
dalam sidang perubahan UUD pada PAH I dengan kalimat sebagai berikut:
....... sebenarnya pembedaan
antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung tadinya kita pikirkan koor bisnisnya itu, MA itu kita
berikan kewenangan untuk mengambil putusan berkenaan dengan perkara-perkara
yang menyangkut keadilan bagi warga negara. Sedangkan yang satu lagi Mahkamah
Konstitusi ini pengadilan yang menjaga tegaknya hukum. Tertib aturan. Mulai
dari konstitusi sampai peraturan yang ada dibawahnya.
Seluruh kewenangan judicial review, kita tidak pisahkan
lagi, kesemuanya saja kita berikan kepada Mahkamah Konstitusi. Sekarang,
Mahkamah Agung kita berikan kewenangan untuk me-review peraturan dibawah
undang-undang. Tapi nanti, kita pindahkan saja. Karena memang Mahkamah
Konstitusi inilah yang menjaga tertib hukum. Pengadilan hukumnya kira-kira. Dan
bukan hanya di bawah undang-undang. Semua peraturan di bawah Undang-Undang
Dasar. Di bawah Undang-Undang Dasar.
Penyatuan ini, dimaksudkan agar Mahkamah Agung lebih
fokus pada kompetensinya memberikan keadilan masyarakat melalui berbagai
peradilan berdasarkan tingkatnya, sedangkan Mahkamah Konstitusi pada penataan sistem hukum, sistem
ketatanegaraan yang demokrasi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya adalah
bagamina cara melakukan penyatuan tersebut, karena kewenangan tersebut adalah
perintah dari UUD 1945. Dan untuk melakukan amandemen berikutnya adalah melalui
proses yang sangat sulit. Oleh karena itu upaya perubahan hanya dimungkinkan
dengan menggunakan teori hukum yaitu dengan mengembangkan konvensi
ketatnegaraan.
Menurut KC Wheare konvensi
ketatanegaran adalah salah satu cara mengubah UUD, dan perubahan UUD dapat timbul akibat dorongan kekuatan (forces) dapat
berbentuk:
1. Kekuatan tertentu dapat melahirkan
perubahan keadaan tanpa mengakibatkan perubahan bunyi tertulis dalam UUD. Yang
terjadi adalah pembaharuan makna. Suatu ketentuan UUD diberi makna baru tanpa
mengubah bunyinya.
2. Kekuatan-kekuatan yang melahirkan keadaan
baru itu mendorong perubahan atas ketentuan UUD, baik melalui perubahan formal,
putusan hakim, hukum adat maupun konvensi.[8]
Untuk lahirnya konvensi, maka harus ada
kesepakatan antara dua lembaga yaitu Mahkamah Agung menyerahkan kewenangannya
secara sukarela pada Mahkamah Konstitusi. Penyerahan sukarela harus didasarkan
pada alasan yang logis secara ketatanegaraan seperti lebih fokus pada
kompentensi utamanya yaitu menjaga keadilan masyarakat. Dan dilain pihak
Mahkamah Konstitusi dapat menerima kewenangan dengan tujuan untuk menjamin
terselenggaranya konstitusionalitas peraturan perundang-undangan. Kondisi
tersebut dapat membentuk konvensi ketatanegaraan tanpa mengubah bunyi pasal
dalam UUD 1945.
Persoalan lain dialihkannya kewenangan
judicial review pada Mahkamah Konstitusi adalah semakin beratnya tugas Hakim
Mahkamah Konstitusi yang sangat terbatas (9 orang), dan tidak mungkin dilakukan
penambahan, karena dengan menambah hakim berarti mengubah UUD 1945. Sambil
menunggu perubahan UUD jilid 5, maka untuk sementara Mahkamah Konstitusi dapat
membentuk hakim tanpa palu yang akan membantu memeriksa dan memberikan analisis
pada kasus-kasus yang diperiksa.
D.
Penutup
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan:
1. Adanya hirarki peraturan
perundang-undangan Indonesia, bahwa yang lebih rendah didasarkan pada perturan
yang ada diatasnya, tidak menjamin terlaksananya konstitusionalisme dalam
peraturan perundang-undangan.
2. Mahkamah Agung yang mempunyai kompetensi
menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang tidaka dapat
menafsirkan dan menguji dengan UUD, dan memperlemah konstitusionalitas perturan
tingkat bawah.
3. Penyatuan dan penyerahan keweangan menguji
peraturan perundang-undangan secara menyeluruh pada Mahkamah Konstitusi dapat
menjaga konstitusionalitas peraturan perundang-udangan.
E.
Kepustakaan
Bagir Manan, Bagir Manan, 2003, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta,
Jimly Assidiqie dan M. Ali Syafaat., 2006, Teori
Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekjend dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
_______________, 2006.
Mahkamah Konstisi di Berbagai Negara
Mahkamah Konstitusi RI, 2008,. Naskah Komprehensif
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku VI
Kekuasaan Kehakiman, Sekjend dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Perundang-undangan
- Undang-Udang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Undang-Undang Nmor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
- Peraturan Peerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Kewenangan Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota.
[1] Pan Mohamad Faiz, Konstitusi dan Aktivisme Yudisial Konstitusi dan Aktivisme Yudisial http://jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Opini&rbrk=&id=103123&detail=Opini,Tanggal 25 Agustus 2009
[2] Lihat ketentuan
mengingat Peraturan Pemerintah hanya mendasarkan Pasal 5 (2) UUD 1945 sebagai
dasar keweangan formal sedangkan secara materi tidak didasarkan pada UUD
melainkan pada UU yang memrintahkan.
[5] Kalau posisi
UUD1945 tidak diposisikan dengan peraturan perundang-undangan, maka kehadiran
UU Nomor 10 Tahun 2004 pun adalah inkonstitusional.
[6] Lihat Putusan 13
dan 14/PUHM/2009 yang bertentangan dengan asas proporsionalitas yang dianut
Pemilu 2009..
[7] Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku VI
Kekuasaan Kehakiman, Sekjen dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, hlm. 314
Lucky Club - Lucky Club
BalasHapusLucky Club. Home · Live Streaming · Jackpot · Jackpots · Roulette · Live Tables · Live Craps · Live Bets. luckyclub Home · Live Casino · Live Casino.